Orang terakhir yang meninggalkan rumah Dokter Willem adalah Kathelijn. Kembali Cornelia memeluknya.
“Besok saya ke rumah Tante,” ucap gadis itu.
Mendengar itu Willem cukup heran. Mengapa Cornelia memanggil perempuan itu tante?
“Saya pasti tunggu. Betul, ya? Datang jam berapa?” tanya Kathelijn.
“Sore-sore.”
“Saya akan siapkan masakan surprise untukmu. Eh, sebentar.”
“Kenapa, Tante?”
“Kamu katanya sakit. Demam parah. Kok segar bugar begini?”
Cornelia hanya tersenyum.
Kathelijn menatapnya kagum. Betapa cantiknya gadis ini. Ia yang di masa gadisnya dipuja-puja. Ia yang disebut-sebut sebagai noni tercantik di Surabaya, merasa masih di bawah pesona kejelitaan dara Rotterdam ini.
“Besok saya ceritakan,” Cornelia melambaikan tangan ketika janda itu sudah berada di atas dokar.
Di ruang tengah Willem menatapnya penasaran. “Sudah lama saya menjadi dokter, Cornelia. Banyak pasien sembuh di tangan saya. Tetapi adik sendiri tidak mampu saya sembuhkan. Kamu tiba-tiba menghilang. Sekarang tiba-tiba muncul. Kamu sembuh total, seperti tak pernah terjadi apa pun. Siapa orang yang menyembuhkanmu, apa obat yang diberikan padamu? Saya ingin belajar banyak padanya.”
“Mau tau saja,” jawab Cornelia tertawa.
Willem merasa gemas dan tambah penasaran. “Jawab sekarang,” katanya sambil menangkap pergelangan tangan Cornelia yang sedang berlalu di depannya.
“Biar Non Lia makan dulu, Tuan Muda,” timpal Rabiyah.
“Ya, saya juga belum makan seharian, gara-gara anak ini,” kata Willem mencubit pipi adiknya dengan gemas.
Di meja makan kedua kakak-beradik itu makan dengan lahap.
“Kamu membuat orang satu Ampenan repot mencarimu. Tapi saya heran juga. Kamu begitu populer. Orang-orang lebih mengenalmu daripada saya yang sudah lama menetap di sini.”
Willem terus bicara. Tapi Cornelia lebih banyak tersenyum. Ia seperti menahan diri untuk menjawab atau bercerita.
Di dalam kamar, dari dalam saku mantelnya Cornelia mengeluarkan pisau. Ia meletakkannya di atas meja.
“Itu pisau dapur, inaq cari-cari tadi. Ternyata Non Lia bawa. Untuk apa, Non?” Rabiyah keheranan.
Perempuan itu sejak tadi banyak menyimpan pertanyaan. Malam ini, setelah menghilang seharian, sikap gadis itu membuatnya penasaran dan merasa aneh.
Darahnya tersirap ketika gadis itu mengeluarkan lagi sesuatu dari dalam saku mantelnya. Selembar sapu tangan. Nampak kotor dan ada bercak-bercak darah yang telah mengering.
Rabiyah tersurut mundur. Ia menatap gadis itu. Matanya kembali memandang pisau dan sapu tangan di atas meja. Darah itu! Darah siapa? Apakah darah… Rabiyah tak berani meneruskan alur pikirannya.
“Non,” panggilnya. Suaranya gemetar.
“Kenapa, Inaq?” gadis itu mendekatinya.
Cornelia tersenyum lagi. Senyuman yang di mata Rabiyah kini nampak berbeda. Senyum yang ganjil. Rabiyah semakin gugup.
“Inaq! Kenapa?” tangan Cornelia hendak menjangkaunya. Bulu kuduk Rabiyah meremang. Ia bersandar di dinding. Tubuhnya menggigil. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)
]]>