deAmpenan – bagian 38

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
“Inaq! Kenapa melihat saya seperti itu? Seperti melihat hantu?”

Rabiyah seperti baru tersadar setelah mendengar suara Cornelia yang cukup keras dan bernada kesal. Ia terlalu letih. Bukan keletihan fisik, tapi perasaan dan pikirannya dalam beberapa hari terakhir begitu masif didera kepedihan dan kesedihan. Hari-hari saat Cornelia tergolek lemah di tempat tidur, setiap saat menguras air matanya. Ia tidak tega dan tak rela melihat gadis itu menderita. Semalam, ia diteror kecemasan, bahwa Cornelia akan pergi meninggalkannya. Dan sejak pagi tadi puncak dari ketegangan yang merongrong hati dan akal sehatnya. Cornelia hilang lenyap. Ia seperti kehilangan kewarasannya. Lalu tiba-tiba gadis itu pulang. Dadanya seperti meledak lantaran kegirangan. Perasaan yang tadinya tertindas, lalu mendadak lega, seperti pertemuan dua musim tanpa pancaroba. Kejutan-kejutan demikian tak sanggup diterimanya. Sensasi yang membuat perasaannya rentan.

“Inaq. Inaq capek. Kita istirahat. Inaq tidur lagi di sini.”

“Nggih, Non.”

Keduanya merebahkan diri di tempat tidur. Cornelia memeluk wanita itu sambil berbaring.

“Inaq sayang saya?”

“Inaq terlalu sayang pada Non Lia.”

“Betul?”

“Waktu Non Lia sakit, inaq seperti orang jogang (gila).”

Cornelia tertawa.

“Tadi pagi tiyang betul-betul kembelas (kaget), waktu tahu Non Lia tidak ada di dekat inaq. Inaq lari ke luar, sampai lupa bekereng (memakai sarung). Ndak becawet (bercelana dalam) lagi. Untung tidak dilihat tuan muda.”

Gadis itu tertawa keras sampai keluar air mata. “Inaq, mau saya ceritakan?”

“Ceritakan, Non. Inaq penasaran.”

Cornelia memulai penuturannya. “Saya haus sekali. Tapi saya tak mau membangunkan inaq. Setelah saya minum, saya mencoba tidur lagi. Tapi saya tak bisa pejamkan mata. Lalu saya mencium aroma itu.”

“Aroma apa, Non?”

“Nanti saya ceritakan. Kalau aroma itu tercium, itu menandakan kehadirannya.”

“Ahmad?”

“Betul. Saya bangkit dan turun lagi dari tempat tidur.”

Perasaan teramat rindu menguasai Cornelia setelah menghirup wewangian yang dikenalnya. Tetapi luka di hatinya menindas kerinduan itu.

“Penderitaan saya, demam itu, tidak seberapa dibanding kesakitan yang merongrong bathin saya, Inaq. Kesakitan yang tak pernah saya alami sebelumnya. Itu akibat dia. Dia begitu tega dan keji. Rasanya saya tak sanggup hidup lebih lama. Saya bisa mati. Tetapi sebelum ajal saya tiba, dia harus lebih dulu mati di tangan saya!”

“Hah? Non?” Rabiyah bangkit, duduk di tepi ranjang sambil menatap Cornelia tajam.

“Saya pakai mahtel. Saya ambil pisau di dapur. Saya ke luar menemuinya.”

“Non Lia lewat mana? Pintu depan waktu inaq periksa tetap terkunci.”

“Saya ke luar ya lewat pintu depan. Saya tak mengerti kalau pintu itu terkunci lagi ketika inaq periksa.”

Malam itu, Cornelia berjalan seperti terbang. Demam itu tiba-tiba hilang begitu saja. Ia berlari memburu lelaki yang dilihatnya berdiri menunggu di tengah jembatan. Lelaki yang begitu dicintainya. Cinta yang kini melahirkan dua kobaran yang saling bertentangan. Seperti dua sisi mata uang. Kobaran rindu, berdampingan dengan api cemburu yang membakar, menghanguskannya, menciptakan arus kebencian. Arus yang berpusar, mengepungnya, menjadikannya begitu beringas dan siap membunuh. Kobaran-kobaran itu mendatangkan kekuatan, berlipat ganda.

Ia lihat pemuda itu tersenyum. Tapi benaknya membuat alur sendiri. Senyum itu juga yang diberikan untuk janda iblis itu. Senyum lelaki buaya. Ia tak ingin terpedaya lagi. Kepalanya penuh dengan adegan-adegan mesum: pemuda itu bergelut dengan iblis betina itu. Bagaimana pemuda itu mengangkat tubuh janda yang pura-pura pingsan itu, membawanya ke kamar, lalu mereka bercumbu lagi. Dasar manusia cabul!

“Plaaaakkkkk!”

Sebuah tamparan sangat keras membuat tubuh Ahmad terhuyung-huyung. Gadis di hadapannya menatapnya dengan bengis.

Tangan kanan Cornelia melayang lagi. Tamparan yang lebih keras. Tubuh Ahmad terjajar, tertahan di pinggiran jembatan.

Cornelia benar-benar dikuasai badai kemarahan. Ia melihat darah menetes di sudut bibir pemuda itu. Tetapi itu tak mengurangi kobaran dan bara dendam cemburu di dadanya. Ia belum lega. Tangannya meraba pisau di saku mantel.

“Kita akhiri semuanya di sini,” katanya dingin. Pisau terhunus, berkilap redup. Malam mencekam di jembatan Ampenan, di bawah cahaya suram bulan sabit tanggal 5 Rajab. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

]]>

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait