“Beres, Non.”
“Soal cemburu itu juga. Biar hanya Ahmad dan Inaq yang tahu.”
“Bagaimana kalau inaq lupa dan keceplosan?”
“Tinggal pilih. Digigit dengan kejam atau kena pisau yang melukai Ahmad itu.”
“Aduh, takut inaq. Non Lia galak sekali.”
Dua perempuan itu bersenda gurau di dapur, sambil menyiapkan beberapa masakan yang akan dibawa ke rumah Kathelijn.
“Sekarang Ahmad itu besar kepala dia. Dia tahu saya sakit gara-gara dia. Sakit karena cemburu. Ahmad itu kelihatannya pendiam. Inaq belum tahu, saya sering dibuatnya dongkol dan gemas. Hampir sama dengan Willem.”
“Aisslee, akur sekarang dia. Kemarin sampai mau bunuh orang. Memang, lamun wah besidukan no, aman dunie (memang kalau sudah berciuman itu, amanlah dunia).”
“Nah, nah, pilih gigitan atau pisau?”
“Iya, ya, Non. Tiyang ngkah wah (saya stop sudah).”
***
Kathelijn menghidangkan hutspot. Menu berupa potongan-potongan daging sapi dengan campuran wortel, buncis, kentang, dan bawang bombay yang dicincang, yang dimasak dengan mentega.
“Saya jadi teringat guru piano saya di Rotterdam. Kalau saya ke rumahnya, ia lebih sering menghidangkan menu ini. Tapi hutspot Tante Kathelijn jauh lebih lezat,” puji Cornelia.
“Kamu bisa aja,” sahut Kathelijn sambil membereskan bekas makan. “Kita pindah ke teras, sambil nunggu si Ahmad.”
Cornelia dan Rabiyah saling berpandangan.
Hidangan disajikan lagi. Kue khas Belanda semacam bolu. Namanya ontbijtkoek. Ada rasa cengkeh, kayu manis, jahe dan pala, pada jajanan yang diolesi mentega itu. Kathelijn juga menghidangkan teh.
Cornelia pamit ke toilet. Di luar, Rabiyah dan Kathelijn bicara berbisik-bisik. Saat gadis itu kembali, ia lihat Kathelijn tersenyum-senyum.
“Sejak dulu Ahmad itu anak imut dan kalem. Dia sering menyendiri. Tapi banyak gadis remaja Surabaya tertarik padanya. Ahmad itu ganteng, lebih banyak mengambil wajah ibunya. Ibu Ahmad itu seorang roro, bangsawan Jawa Timur. Perempuan cantik jelita. Setiap hari saya kewalahan, selalu ada gadis yang mencari Ahmad.”
Kening Cornelia berkerut. Ia mulai terganggu. Wajahnya nampak gelisah. “Siapa gadis paling dekat dengannya, Tante?”
“Sebentar,” Kathelijn nampak mengingat-ingat, sambil menggerakkan satu-persatu jari-jari tangannya seperti menghitung.
Cornelia nampak tegang. Ia mulai terbakar.
“Kalau perempuan-perempuan itu sudah ngumpul, seringkali ujung-ujungnya sebuah fitnah,” sebuah suara terdengar dari depan mereka.
“Sok tahu kamu. Kenapa kamu baru datang?” Kathelijn bangkit dan masuk mengambil sesuatu.
“Ahmad, silakan duduk,” Rabiyah mempersilakan.
Pemuda itu duduk di kursi di samping Cornelia. Ia melihat gadis itu cemberut.
“Ada apa lagi?”
Cornelia tak menjawab. Rabiyah menyusul Kathelijn ke dalam.
“Saya bersalah lagi?”
“Banyak sekali kekasihmu waktu di Surabaya dulu. Jangan-jangan masih berlanjut sampai sekarang.”
“Saya bilang apa tadi. Kalau perempuan-perempuan itu sudah ngumpul, maka…” kata Ahmad, “Bibi Kathelijn bicara begitu padamu dan kamu percaya? Bibi itu bahkan lebih jahil daripada Rabiyah.”
“Tante menghitung-hitung dengan jarinya. Sambil mengingat-ingat berapa banyak pacarmu.”
Ahmad tertawa mendengarnya. “Apalagi kalau itu benar, ya. Bagaimana cemburunya kamu.”
“Sori. Siapa cemburu?”
“Ini akibat kecemburuan itu,” Ahmad menunjukkan bekas luka di lehernya.
Wajah gadis itu memerah. Ia mengambil kue. Ia potong separuh, dimasukkannya ke dalam mulut Ahmad. Pemuda itu mengunyah pelan. Potongan berikutnya disuapkan gadis itu lagi, sampai kue habis. Gelas tehnya yang baru terminum separuh ia dekatkan ke bibir Ahmad. Pemuda itu meminumnya. Air teh dalam gelas itu belum habis. Giliran gadis itu meminum
“Ehem, ehem!
Dua wanita mendehem, keluar dari dalam rumah, membawa makanan dan minuman di atas nampan.
“Suapin lagi, ya? Harus sampai habis,” Kathelijn meletakkan makanan itu di meja kecil dekat tempat duduk Cornelia.
Gadis dan pemuda itu tersipu-sipu.
Rabiyah pamit duluan pulang.
Ahmad menunjuk matahari yang beberapa menit lagi meninggalkan langit. Keduanya melangkah ke arah pantai. Matahari nampak bulat sempurna tanpa terhalang awan. Senja terindah yang dirasakan Cornelia setelah beberapa bulan berada di Lombok.
“Ahmad, saya ingin di-senggeq lagi.”
“Kakimu keseleo lagi?”
“Apakah hanya saat saya keseleo saja kamu mau senggeq saya?”
“Perempuan cerewet,” tapi ia membungkuk juga. Cornelia memeluk lehernya. Ahmad mendukung tubuh gadis itu di sepanjang garis pantai. Matahari semakin merapat ke batas cakrawala. Ombak Pantai Ampenan berdebur keras. Tetapi debur di dada Cornelia lebih bergemuruh. Debur yang menyenangkan, menenangkan. Debur yang membuat darahnya mengalir sangat lancar, terasa nikmat di seluruh pembuluh. Ia mempererat pegangannya di leher Ahmad.
“Ahmad.”
“Iya.”
“Kamu sudah memaafkan saya?”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Karena tak ada yang perlu dimaafkan.”
“Jadi saya tak salah?”
“Kamu salah pada dirimu sendiri.”
“Saya tak mengerti.”
“Salahmu, karena kamu terlalu mencintai saya.”
“Ahmad, kamu ngawur. Kamu rasakan ini!” ia gigit kuduk pemuda itu.
“Kita bisa jatuh nanti,” Ahmad merasakan hangat bibir gadis itu menempel di tengkuknya. Gigitannya membuatnya geli. Gigitan pindah ke pundak dan punggungnya. Ia terus melangkah.
“Biar sudah kita jatuh.”
“Kita pulang sekarang,” kata Ahmad lagi, “Sudah hampir malam.”
“Tidak mau,” gadis itu tetap menempel.
“Nanti kita disangka merariq.”
“Biar.” Senja terpapar. Serpihan petang memanggil malam. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)
]]>