deAmpenan – bagian 43

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Seseorang yang selalu hadir di hatinya, lelaki yang menjadi penyebab kegelisahannya, pemuda yang selalu membuatnya tergetar, pernah berkali-kali bersamanya, berdua saja. Di suatu kesempatan, suasana, dan suatu tempat terindah. Apakah pertemuan itu mengakhiri segala rindu?

Ternyata, semakin berkesan setiap perjumpaan, menjadi pemicu kerinduan baru yang lebih bertalu-bertalu. Lebih menyiksa dari sebelumnya.

Telah belasan kali Cornelia berdiri memandang dari jendela lantai atas. Berugaq sudah ramai, tetapi Ahmad belum muncul. Ia kini tak hanya merindukan pemuda itu. Setiap saat ia mengkhawatirkannya.

Sejak Ahmad bercerita di taman itu, Cornelia selalu was-was.

“Saya menjadi orang buruan. Dicari-cari, dikejar, bahkan lebih dari seorang penjahat,” tutur pemuda itu.

Ahmad menceritakan kisah-kisahnya sejak bertemu dengan Ghalib di sebuah belantara tujuh tahun yang lalu, sampai setelah itu ia menjadi target orang-orang misterius.

“Ahmad, nama itu sepertinya pernah saya dengar. Orang tua bernama Ghalib itu, berjanggut sangat panjang, memakai tongkat berkeluk-keluk?”

Pemuda itu menatapnya tajam. “Kamu tahu dari mana?”

“Kamu bilang itu sekitar tujuh tahun yang lalu. Saya bertemu orang tua itu juga persis tahun-tahun sekitar itu. Saya masih berusia 13 tahun. Waktu itu saya ke makam mendiang ibu di Rotterdam. Ketika saya hendak pulang, saya terkejut ketika ia muncul dari balik pepohonan, menghampiri saya, memperkenalkan diri. Ya, namanya Ghalib. Nama asing, wajah, perawakan, dan kulitnya tak seperti orang Eropa. Saya masih ingat sesuatu yang dikatakannya. Ia sampaikan itu lalu pergi.”

“Hanya bicara?”

“Iya, itu juga cuma sebentar, tak sampai lima menit. Dia bilang saya akan pergi ke sebuah negeri yang jauh. Bertemu dengan seorang laki-laki. Terjawablah pertanyaan itu sekarang. Berarti kamulah seseorang yang dimaksudkannya, Ahmad.”

“Keraguan saya juga berakhir sekarang. Ghalib mengatakan seseorang akan muncul yang kelak mendampingi saya. Itulah petanda akhir tugas saya, dan menuntaskan satu persyaratan lagi. Saya bertemu orang tua itu lagi beberapa waktu kemudian. Ia menyebut tempat yang cukup detil. Pendamping itu seorang wanita di ujung utara jembatan Ampenan, katanya. Saya cari tahu sejak lima tahun lalu. Tidak ada perempuan lain tinggal di situ selain seorang nyonya Belanda dan babunya yang bernama Rabiyah. Saya bertanya-tanya, masak Rabiyah yang akan mendampingi saya.”

Cornelia tertawa terpingkal-pingkal.

“Sampai kamu akhirnya datang. Tapi saya masih juga ragu.”

“Kenapa ragu?”

“Ghalib tak bilang pendamping saya itu…”

“Kenapa pendamping itu?”

“Terlalu cantik.”

Hati Cornelia berbunga-bunga. Betapa ia senang mendengar pengakuan pemuda itu.

“Betul saya cantik, Ahmad?”

“Terlalu cantik. Jelas?”

Cornelia tersipu.

Dua ekor kupu-kupu berputar-putar di dekat mereka duduk. Kupu-kupu dengan sayap-sayap indah berwarna-warni.

Kupu-kupu itu seperti memberi isyarat. Keduanya terbang ke suatu arah. Ahmad dan Cornelia mengikutinya. Ternyata kupu-kupu itu menunjukkan ayunan yang berada di bagian taman yang tak terlihat dari tempat mereka tadi. Ahmad mempersilakan gadis itu duduk dan ia mendorong ayunan pelan-pelan.

Ada telaga kecil tak jauh dari mereka. Di tempat sekitar itu tak kalah indah. Bunga-bunga di sekeliling telaga adalah jenis yang berbeda. Keindahan aneka puspa yang bahkan lebih menggoda.

“Airnya sangat jernih dan sejuk, Ahmad. Saya boleh mandi?”

Ahmad mengangguk.

“Kamu jangan mengintip. Tapi kamu jangan jauh-jauh.”

“Saya duduk di ayunan, membelakangi kolam.”

Cornelia mandi dan berendam sepuas-sepuasnya. Ia cukup lama tak pernah mandi di kolam sejak meninggalkan negerinya.

Ia telah mengenakan pakaiannya. Rambutnya basah, tetesan air berjatuhan dari ujung rambutnya. Ia nampak begitu segar. Tanpa bersisir dan tak ada polesan sedikit pun di wajahnya, kecantikannya bahkan lebih mengesankan. Sehebat apa pun produk kosmetika atau seahli-ahlinya penata rias wajah, hanya menutup bahkan merusak keindahan sesungguhnya. Dan Cornelia satu dari beberapa wanita di dunia yang mendapat anugerah keindahan sejati. Keindahan wajah, tubuh, dan jiwa.

“Ahmad, ada yang belum saya tanyakan. Aroma itu, yang kamu bilang berasal dari pohon di sungai tadi. Pertama kali saya hirup ketika saya bermain piano di kota kelahiran saya. Bagaimana kamu bisa menebarnya sejauh itu?”

“Saya tak pernah melakukan itu. Sebelum kamu di Lombok saya belum mengenalmu. Bagaimana mungkin saya melakukannya?”

“Apakah pekerjaan Ghalib, memberi isyarat bahwa kita akan ketemu?”

“Wallahuallam.”

Mereka berjalan ke arah selatan. Di bagian ini banyak pohon buah-buahan. Ahmad memetik jambu air dan sawo. Sambil berjalan mereka menikmati buah-buah segar dan manis itu.

“Ada yang menyebut aroma pohon itu khloem chann crassna. Jepang mengatakannya aroma yang dalam,” kata Ahmad.

Di bawah sebuah pohon yang cukup rindang, Ahmad berhenti. Ia memetik beberapa buahnya yang sebesar ujung jari telunjuk. “Ini dikatakan anggur lokal. Namanya singgapur. Mungkin kamu suka.”

“Manis, Ahmad. Segar. Rasanya lembut dan asyik, meledak di dalam mulut.”

Ahmad melanjutkan ceritanya. “Pohon itu sendiri bahkan ada yang menyebutnya Kayu Tuhan. Satu-satunya pohon yang diijinkan Tuhan dibawa ke bumi ketika Adam terusir dari Taman Eden. Nama pohon itu banyak sekali. Tersebut di sejumlah kitab suci. Sang Buddha menyatakan keharuman kayu itu adalah aroma nirvana yang otentik atau kondisi mencapai keilahian. Zat intinya menjadi aroma favorit Dewa Krishna, yang dianggap sebagai Dewa Perlindungan dan pahlawan teks Sanskerta kuno Bhagavat Gita. Sudah menjadi legenda ribuan tahun, diburu hingga nyaris punah. Sepotong kecil kayunya atau setetes kandungan intinya, membawa cinta, keberuntungan, dan kemakmuran, bagi mereka yang merawat dan menggunakannya dengan bijak.”

“Sudah langka, tentu harganya sangat mahal. Belum lagi lantaran kegunaannya yang hebat-hebat itu,” ucap Cornelia.

“Andaikata tidak langka pun harganya tetap mahal. Sebab untuk menghasilkan 20 mililiter (ml) tetesan hasil destilasinya saja butuh 70 kilogram kayu itu.”

“Jadi pohon yang ada di sungai yang dijaga berbagai makhluk itu, jenis tertua?”

“Paling tua di muka bumi ini. Itu sebabnya menjadi buruan orang sedunia. Jika harta karun emas itu dijaga segolongan jin, maka pohon ini jauh lebih banyak dilindungi makhluk bermacam dimensi. Yang menjadi kekhawatiran disalahgunakan lagi, untuk menuhankan diri.”

“Wah, begitu dahsyatnya.”

“Saya akan jelaskan lagi kehebatan-kehebatannya nanti. Kamu tidak capek?”

“Tidak, selama bersama kamu.”

“Saya sudah duga.”

“Kembah idung’m (mekar hidungmu),” Cornelia memonyongkan bibirnya.

Ahmad tersenyum. Ia memperhatikan jemari gadis itu. “Kenapa kamu tidak pakai perhiasan yang saya berikan tempo hari?”

“Saya lepas semua beberapa hari lalu. Waktu itu saya betul-betul membenci kamu.”

“Ada sesuatu lagi untukmu,” kata Ahmad membuka tasnya.

“Cincin kawin. Indah sekali.’

“Saya pasang, ya?”

Cornelia mengangguk. Ia menyodorkan tangannya. Cincin emas menyerupai sebuah mahkota bermata berlian itu disusupkan Ahmad ke jari manisnya. Saat benda itu mulai dipasang, gadis itu memejamkan matanya. Ia membayangkan dirinya sedang menikah. Jemarinya bergetar.

“Jangan dilepas lagi.”

“Asal jangan kamu sakiti saya lagi, Ahmad. Kamu harus janji.”

“Pernahkah saya menyakitimu?”

*

“Non, melamun saja.”

Cornelia tersentak. Hatinya bersorak ketika Rabiyah memberi tahu Ahmad ada di depan. Ia kenakan kalung, anting-anting, dan cincin pemberian Ahmad tempo hari, selain cincin yang tak pernah dilepasnya sejak pemuda itu memakaikannya di taman.

Gadis itu ke luar dengan malu-malu. Ia lihat senyum Ahmad, saat ia muncul di ambang pintu. Senyum seribu wibawa pemuda yang telah menunggunya sejak tujuh tahun yang lalu. Bergetar lagi hatinya. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

]]>

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait