Petang terbenam berganti malam. Untuk pertama kalinya Ahmad terang-terangan berpamitan kepada Willem, mengajak Cornelia ke luar jalan-jalan malam itu.
Di dalam kamarnya Cornelia telah mencoba lima buah gaun, tetapi belum ada satu pun berkenan di hatinya.
“Waktu saya beli sudah saya coba semua. Perasaan bagus-bagus semua, kenapa sekarang tidak ada yang pantas?”
“Semuanya memang bagus, Non. Tapi aran jak temele bedait sik beraye, ye kurang solah doang teperasak selapuq tekawih (tapi namanya akan ketemuan dengan pacar, semua yang dipakai terasa kurang bagus),” kata Rabiyah.
“Inaq sok tahu.”
“Sok tahu unin kanak ne. Sak nyate-nyate telu wah semamaq tiyang. Ndek tiyang bau rekeng loweq beraye tiyang laek. Sang arak petang dasa telu. Wah besuh tiang idap berembe rase beberayean (sok tahu bilangnya ini anak. Yang nyata-nyata sudah tiga orang suami saya. Tidak terhitung jumlah pacar saya. Mungkin ada sebanyak empat puluh tiga orang. Saya sudah kenyang merasakan pacaran),” ucap Rabiyah. Ia menyodorkan gaun warna biru tua. “Coba yang ini, Non. Cepetan, kasihan si Ahmad lelah menunggu.”
“Bagus, Inaq?” Cornelia memasang aksi persis seorang peraga busana.
“Masyaallah, Non, Non. Jak paleng Ahmad engat (akan pingsan nanti si Ahmad melihat non).”
Di ruang tengah Willem bercakap-cakap dengan Ahmad.
“Jalan-jalan ke mana?” tanya Willem.
“Di sekitar sini saja. Paling jauh ke Pantai Ampenan.”
“Jangan sampai larut malam.”
Cornelia ke luar kamar. Willem berseru takjub. Ahmad melihat kemunculan gadis itu, tapi ia segera menunduk.
“Secantik ini adikku, Ahmad. Inilah kali pertama saya melihat dia begitu cantiknya. Jaga dia baik-baik, Ahmad. Tergores sedikit saja kulitnya, kamu akan tahu akibatnya.”
“Insyaallah saya akan menjaganya sebaik-baiknya.”
“Satu lagi, Ahmad. Obat apa yang kau pakai untuk menyembuhkan adikku tempo hari?”
“Tidak usah dijawab, Ahmad. Itu-itu terus dia bahas,” Cornelia menarik tangan Ahmad. Sebelah tangannya mengacungkan tinju ke arah Willem.
Di luar tak nampak cahaya rembulan. Sebagian langit tertutup awan.
Cornelia memegang pergelangan tangan Ahmad. Di ujung selatan jembatan Ampenan mereka berhenti. Sayup tercium aroma oud, jinko, atau gaharu. Lama-kelamaan semakin santer. Samar terlihat anak-anak tangga. Ahmad mengajak gadis itu menuruninya. Semakin ke bawah cahaya semakin terang. Di sekitar bawah jembatan itu kini seperti siang hari.
Cornelia baru pertama kali berada di tempat itu. Ia hanya beberapa kali memandang dari jendela kamar atas rumah, ke arah tempatnya sekarang. Di sepanjang hari orang-orang memancing ikan di situ.
Air sungai bersih bening, hingga dasarnya terlihat jelas. Beraneka macam ikan berenang, sesekali muncul di permukaan air. Sepanjang tepi sungai nampak rapi dan sangat bersih. Bermacam pohon teduh berdiri kukuh di bantaran sungai.
Sedikit ke utara nampak sebatang pohon besar di tengah sungai. Cornelia segera mengenalinya. Itulah pohon gaharu purba yang dijaga segala makhluk.
“Mana istana itu, Ahmad?”
“Di satu dimensi itu ada tingkatan-tingkatan lagi. Kita berada satu tingkat di atas alam tempat taman dan istana itu.”
“Tapi di atas Sungai Jangkok juga?”
“Benar. Hanya di sini tak banyak yang kamu lihat. Dan pohon itu akan nampak dari segala tingkatan dan dimensi, kecuali alam atas sadar.”
Lantai tempat mereka berdiri terbuat dari batu pualam yang permukaannya rata dan sangat halus. Potongan-potongan pualam yang tidak satu motif, namun terpasang begitu apik. Dindingnya dari susunan potongan batu-batu granit dua kali ukuran batu bata yang tak kalah rapi. Ada beberapa lubang bundar di dinding bagian bawah, berdiamer sekitar satu setengah hasta.
“Itu seperti terowongan.”
“Itulah lubang-lubang tuna putih yang terhubung ke Gunung Rinjani. Pintu yang digunakan makhluk-makhluk itu. Di dalamnya seperti labirin, tapi itulah jalur-jalur mereka mengambil jalan pintas ke mana pun di seputar Pulau Lombok.”
“Tuna putih berkalung ijuk itu?”
“Ya, sepasang di antara mereka adalah tuna-tuna yang usianya sama dengan daratan Lombok, seumuran dengan pohon gaharu itu.”
Di pinggir sungai sebelah utara terdapat pelataran dua kali lebar berugaq sekepat (bertonggak empat). Lantainya juga dari batu pualam, tapi lebih tinggi beberapa hasta. Di tengah lantai ada sembilan anak tangga yang menurun hingga ke dasar sungai. Tempat itu lebih terang.
“Kita menuju ke sana.”
“Lewat titian itu? Saya takut, Ahmad.”
“Saya akan senggeq kamu.”
Wajah Cornelia bersinar-sinar, nampak senang. Ia melompat ke punggung Ahmad, memeluk lehernya dengan kuat.
Titian itu panjangnya sekitar enam depa, untuk mencapai tangga pelataran. Lebarnya lebih sempit dari bilah papan. Terbuat dari rotan utuh yang dipotong horizontal, dirakit rapat-rapat.
“Kamu senggeq saya, karena khawatir saya jatuh?”
“Saya khawatir gaunmu yang indah itu basah karena tercebur di sungai.”
“Kamu lebih sayang pada pakaian daripada saya sendiri, Ahmad?”
“Iya.”
“Antar saya pulang, Ahmad!”
Gelitikan Cornelia di rusuknya membuat Ahmad berteriak kegelian.
“Kita di atas air, meleset sedikit kita tercebur.”
“Makanya, bilang lagi lebih sayang gaun saya.”
“Ya, ya! Saya menyayangi adiknya Dokter Willem.”
“Nah, begitu.”
Gadis itu menempelkan pipinya di kuduk Ahmad. Sebelah tangannya meraba-raba wajah pemuda itu.
“Janggutmu sudah panjang, Ahmad. Besok dagumu sudah harus licin.”
“Kamu berpegangan sebelah tangan, bisa terlepas nanti.”
“Bilang aja kamu mau dipeluk dengan dua tangan, seperti ini.”
“Kamu yang berkata begitu.”
Mereka sampai di ujung titian. Ahmad menaiki tangga. Di atas pelataran ia menurunkan tubuh gadis itu. Keduanya duduk di lantai pelataran yang tiada noda seperti baru dibersihkan.
“Kita diminta menunggunya di sini.”
Aroma wangi gaharu bertambah semerbak. Udara semakin sejuk. Di tempat mereka duduk kini dipenuhi kabut.
Kabut berangsur menipis, berganti munculnya sesosok tubuh ringkih duduk di hadapan mereka.
Tak salah lagi, lelaki tua inilah yang pernah menemuinya tujuh tahun lalu di Rotterdam.
“Kakek Ghalib,” sapa Cornelia.
Beberapa saat tidak seorang pun berbicara. Pertapa itu memejamkan mata. Janggutnya yang sangat panjang bergelung di atas kakinya yang bersila.
“Aku bersyukur masih diberi kesempatan berjumpa kalian berdua. Aku ingin menyampaikan sesuatu, sekaligus pamit, sebab hidup laki-laki tua bangka ini telah ditentukan berakhir hari ini.”
“Kakek!” Cornelia dan Ahmad berseru hampir bersamaan.
“Genap tujuh tahun lalu aku bertemu kalian di hari dan waktu yang sama, tapi berbeda tempat. Tetapi sebenarnya bukan sekali itu aku menjumpai kalian. Sebab sejak kalian dilahirkan, aku telah menemukan jiwa-jiwa yang bersih. Aku hanya menunggu beberapa tahun. Padamu, Gadis, aku hanya memberitahumu akan bertemu seseorang di suatu ketika. Hal yang sama kusampaikan pada Ahmad. Bedanya, padanya aku mesti memberinya bekal, sebab ia akan menghadapi manusia-manusia yang rakus, manusia-manusia yang mementingkan diri sendiri, mereka yang menimbulkan penderitaan bagi banyak orang, mereka yang selalu haus kekuasaan. Dan kehadiranmu, Gadis, akan menguatkannya berlipat-ganda, baik secara fisik maupun bathin,” ucap Ghalib. Ia diam beberapa lama. Nafasnya terengah-engah.
“Kalian akhirnya dipertemukan,” Ghalib meneruskan, “Tapi tugas yang kuwariskan pada Ahmad, belum tuntas, sebelum aku mendengarkan kejujuran kalian. Sebab aku tak mampu membaca hati atau kalbu golongan manusia.”
Ghalib berhenti lagi, menarik nafas panjang dengan susah-payah. Pelahan ia membuka mata menatap Cornelia. “Gadis, apakah kau mencintai Ahmad?”
Cornelia menjadi salah tingkah. Wajahnya memerah. Ia tatap Ahmad di sampingnya yang menundukkan kepala. Kembali ia memandang wajah Ghalib, lalu kepalanya tertunduk menekuri lantai pualam.
“Kakek, apakah kau yang menurunkan perasaan cinta itu?”
“Gadis, aku tak punya kemampuan membuat seseorang menemukan cinta yang aku sendiri tak pernah merasakannya seumur hidupku. Cinta dan perjodohan hanya diatur, dikendalikan, dan dianugerahkan oleh zat Yang Maha Tinggi. Pencipta dan Penguasa alam semesta. Aku hanya ingin jawaban itu, Gadis. Apakah kau mencintai Ahmad?”
“Saya… Saya mencintainya, Kek.”
Semilir angin membuat pelataran itu kian sejuk, begitu gadis itu memberi pengakuannya.
“Pertanyaan yang sama untukmu, Ahmad. Apakah kau mencintai gadis ini yang datang dari negeri yang begitu jauh?”
Ahmad gelagapan. Ia memandang sekeliling, lalu menunduk lagi. Keringat dingin membasahi baju yang dikenakannya. Lantai pualam ikut basah oleh tetesan peluh yang juga mengalir di telapak tangan dan kakinya. Di sebelahnya, Cornelia nampak tak tenang.
“Perlu kuulangi lagi, Ahmad?” suara cukup keras Ghalib membuat Ahmad bertambah gugup.
Pemuda itu belum juga mengucap apa pun. Lidahnya kelu. Beberapa langkah ke timur, pohon gaharu purba berderak seperti gelisah. Alir sungai pun beriak tak tenang. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)
]]>