Penumpang Misterius di Atas Dokar

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

SEKALI waktu Datuk Syeikh TGH Ahmad Tretetet menjenguk Saleh Amin, cucunya semata wayang, di Karang Panas, Ampenan. Tak pernah ia bertingkah aneh-aneh, apalagi menunjukkan berbagai kelebihan yang mencengangkan banyak orang.

“Datoq kalau ke rumah bersikap biasa-biasa saja. Memberi nasihat-nasihat, seperti orangtua pada umumnya, kepada anak-anak atau cucunya. Disuruh rajin shalat, mengaji, dan sekolah,” kata Saleh Amin kepada Al-Iqro di suatu malam.

Adakah pengetahuan dan kelebihan yang dimilikinya diturunkan kepada sang cucu? “Tidak ada sama sekali. Bahkan sepotong ayat pun tidak ada. Hanya datoq seringkali sambil bermain-main dengan saya, datoq mengatakan, “Saleh, Saleh. Saleh miskin. Miskin. Hidupmu miskin. Tapi kamu tidak pernah susah.” Begitulah kata beliau. Dan apa kata datoq itu benar. Sampai sekarang saya miskin,” ungkap pemilik janggut dan brewok lebat dan panjang ini.

Abah Saleh, demikian ia dipanggil, menuturkan, rumah yang ditempatinya sekeluarga adalah hadiah dari kenalan dan sahabat-sahabatnya. Hidup seadanya, namun ia tak pernah mengeluh. “Saya dibuatkan rumah. Saya diberikan pekerjaan. Bisa bertahan sampai sekarang. Hidup saya begini-begini saja dari dulu,” ucapnya.

Abah Saleh justru mendapat cerita tentang kekeramatan sang kakek dari orang-orang yang datang mengunjunginya. “Dari mereka saya mendengar kisah-kisah hebat tentang datoq,” katanya.

Suatu ketika seseorang datang kepadanya. Sebut saja namanya Amaq Ucin. Ia warga Monjok, Mataram. Pada Abah Saleh dia bercerita tentang perubahan nasib secara drastis yang dialaminya sejak bertemu Tuan Guru Ahmad Tretetet di tahun 80an.

Amaq Ucin seorang kusir dokar. Ia sering mangkal di perempatan Jalan Bung Hatta.

Ia biasanya pulang sebelum ashar. Tapi hari itu ia ketiban nasib paling apes selama bertahun-tahun menjadi kusir. Sejak pagi ia belum mendapat satu penumpang pun.

Amaq Ucin tak berani pulang sebelum mendapatkan uang. Ia tahu betul perangai istrinya yang tak pernah berhenti mengomel jika uang yang ia bawa kurang dari biasanya, apalagi tidak ada sama sekali.

Waktu maghrib tiba. Amaq Ucin sembahyang di sebuah surau kecil di pinggir jalan.

Keluar dari surau ia melihat laki-laki tua bersorban dan berpakaian serba putih sudah duduk di bangku belakang tempat duduk kusir. Dalam keremangan ia sempat melihat lelaki itu tersenyum-senyum seperti orang kurang waras.

Mbe tipak tiyang atong, Tuaq (ke mana mau diantar, Paman)?” tanya Amaq Ucin.

Ia hanya mendengar jawaban singkat, “Lampak bae (jalan saja),” ucap lelaki bersorban.

Tali kekang kuda disentak. Dokar meluncur ke arah timur melintasi jalan menuju Majeluk. Sampai di perempatan Sindu, Amaq Ucin kembali bertanya. “Lolos, belok kanan, kiri?”

Lampaq bae!” lagi-lagi jawaban pendek terdengar.

Penumpang aneh. Amaq Ucin merasa dipermainkan. Tetapi ia tak ada keinginan berdebat. Ia letih, ngantuk, dan lapar. Sejak pagi perutnya hanya terisi segelas kopi tubruk suguhan istrinya. Ia menguap. Dokar membelok ke kanan, terus lurus. Di sebuah pertigaan Amaq Ucin mengarahkan kuda belok kanan lagi. Di depan Pasar Beras, ia melihat puluhan wanita berdandan menor mondar-mandir menyeberangi jalan yang tak seberapa lebar.

Dokar kini berada di belakang kantor gubernur. Amaq Ucin memutuskan kembali lagi ke pangkalan melalui Jalan Banteng. Malam semakin larut, sekitar jam sebelas. Empat jam sudah dokar mengitari kota dengan tujuan tak jelas. Amaq Ucin merasa kasihan pada kudanya. Ia harus pulang, apa pun yang terjadi.

Sejak tadi ia mendengar penumpang di belakangnya mendengkur. Hidung tajam Amaq Ucin mencium aroma yang menyengat.

“Ini bukan bau kentut, tapi kotoran manusia,” bisik Amaq Ucin sambil menutup hidung.

Astaga. Penumpang yang sedang tidur itu berak!

Amaq Ucin menghentikan kendaraan. Tetapi ketika ia menoleh ke belakang, penumpang itu sudah tak ada. Yang tertinggal hanya kotorannya yang menumpuk di lantai dokar. Wajah Amaq Ucin pucat-pasi. Kapan lelaki itu turun? Tapi tak jauh dari tempatnya berhenti ia mendengar seruan aneh.

“Tretetet. Tretetet!”

Di sebuah anak sungai Amaq Ucin membersihkan dokarnya. Ia di puncak kelelahan. Ia mengeluh, betapa buruk nasib yang dialaminya sejak pagi hingga menjelang tengah malam ini.

Sampai di rumah ia tak sempat lagi melepas kuda dari benda yang dihelanya. Ia buru-buru masuk rumah, membaringkan tubuh penatnya di balai-balai.

Istrinya belum tidur, seperti sengaja menunggunya.

“Tumben pulang larut malam?”

Amaq Ucin tak menjawab. Ia tak sanggup berkata-kata. Jika ia menjawab dengan berbagai alasan apa pun percuma saja. Si cerewet itu tak pernah mau mengerti. Semenit, tiga menit, tujuh menit, belum ada terdengar omelan yang dipastikan akan menyerangnya bertubi-tubi.

Amaq Ucin merasakan kakinya digoyang-goyang.

“Bangun dulu, sebentar tidur.”

“Saya lelah. Lelah sekali.”

“Saya tahu. Nanti saya pijitin.”

Amaq Ucin seperti dibuai lagu termerdu. Apakah ia tak salah dengar? Harusnya ia dihujani kata-kata menusuk yang biasa ia dengar. Tetapi ia mendengar nada lembut sapaan istrinya untuk pertama kalinya sejak ia berumah tangga.

“Banyak penumpang hari ini, ya? Pantas tumben pulang larut malam.”

“Ada penumpang. Cuma… Cuma…”

“Tapi kenapa banyak sekali ongkosnya? Memangnya ada berapa banyak penumpangnya?”

“Penumpangnya cuma…”

“Uang yang Kau bawa pulang hari ini banyak. Sangat banyak,” potong istrinya.

“Uang? Uang apa?” Amaq Ucin kebingungan.

Isrinya membungkuk, mengambil sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati seukuran ceraken (tempat bumbu) di dapur. Kotak selalu dibawa Amaq Ucin setiap pergi mencari muatan. Tempatnya menaruh uang ongkos penumpang. Kotak itu dibawa masuk istrinya ketika ia merebahkan diri di bilik.

Mata Amaq Ucin terbelalak. Ia melihat kotak kayu itu penuh berisi uang kertas dan logam. Beberapa puluh lembar adalah uang kertas sepuluh ribuan. Nominal tertinggi di masa itu. Belum terhitung pecahan lima ribuan, seribuan, dan lima ratusan.

Kantuk dan letih Amaq Ucin seketika lenyap. Sayup-sayup ia mendengar sesuatu di kejauhan, memecah keheningan malam.

“Tretetet. Tretetet. Tretetet!”

Suara itu semakin menjauh, lalu menghilang ditelan gemerisik daun mangga di pekarangan depan. (Buyung Sutan Muhlis)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait