deAmpenan – bagian 2

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
deAmpenan

Matahari sebagian lenyap di kaki langit. Dua orang lelaki berjalan tergesa-gesa di jembatan dermaga. Seorang berperawakan besar dan jangkung, ia pemuda berusia tiga puluhan. Ia bukan warga lokal. Seorang lagi bertubuh kecil yang hanya mengenakan sarung.

Wanita berkulit putih itu menyongsong mereka. Begitu mendekat, ia menubruk pemuda itu. Kedua tangannya dilingkarkan di tengkuk lelaki itu. Di dadanya ia benamkan wajahnya.

“Willem,” suaranya nyaris tak terdengar, ditindih debur ombak yang beruntun tak henti.

Lelaki yang dipanggil Willem memeluk erat tubuh sang gadis.

“Akhirnya kau datang juga. Barang-barangmu mana?”

“Masih di kapal.”

Ketiganya memasuki kapal dan menaiki tangga. Di salah sebuah ruangan, gadis itu menunjuk sebuah kopor besar.

“Muhsin, bawa ke dokar,” Willem menoleh ke lelaki tak berbaju itu.

Gadis itu menatap Willem. Ia menyangsikan, kopor sebesar itu mampu diangkat seorang pribumi yang nyaris kerdil.

“Kopor itu berat, Willem.”

Tetapi ia terbelalak ketika dengan enteng Muhsin menaikkan barang itu di pundaknya. Lelaki berkulit legam itu bahkan kemudian melangkah seperti berlari.

Hari telah gelap ketika ketiganya sampai di tempat parkir sebuah dokar. Tetapi mata gadis itu masih bisa memperhatikan kuda penarik. Binatang itu beberapa kali meringkik.

“Kuda ini bisa membawa kita?” ia kembali tak yakin.

“Jangan kuatir, Nyonya. Ditambah satu orang lagi pun, kuda ini masih sanggup menarik beban,” Muhsin menjawab dan mempersilakan keduanya naik. Ia sendiri mengambil posisi di depan, memegang tali kendali.

“Heh, heh!” ia memberi isyarat, memerintah kuda sambil menarik kedua tali kekang.

Kuda melesat di Jalan Pabean. Gadis itu memegang erat kedua lutut pemuda di depannya. Sesekali dokar oleng ke kiri dan ke kanan. Gadis itu memekik. Lelaki di depannya berusaha menenangkannya. Tapi hewan penarik dokar terus melaju. Tak peduli keadaan penumpang di belakang yang berpegangan erat menahan tubuh agar tak terlempar setiap roda melindas bongkahan benda keras atau lekukan di jalan.

“Binatang hebat. Kuda dari mana, Muhsin?” tanya gadis itu.

“Kuda dari Sumbawa. Saya punya dua ekor. Jantan dan betina. Yang ini betina. Dia baru saya mandikan.”

Mata sang gadis terbelalak. Ia bertambah heran.

Dokar terus lurus menyeberangi simpang lima Ampenan.

Kendaraan menepi di depan sebuah bangunan berlantai dua, di ujung barat sebuah jembatan gantung. Orang-orang menyebutnya jembatan kuning.

Willem mengetuk pintu. Seorang wanita empat puluhan muncul setelah daun pintu terkuak.

“Inaq, ini Cornelia, adik saya,” kata Willem.

Perempuan pribumi yang mengenakan kain batik dan kebaya tua itu, tergopoh-gopoh, membungkukkan badan, menyalami gadis itu.

“Namanya Rabiyah. Ia babu di sini. Panggil Inaq saja,” kata pemuda itu lagi, “Kau mandi dulu. Saya menunggumu di ruang makan.”

Babu itu menunjukkan sebuah kamar. Cornelia memandang ke sekeliling ruang tidur yang cukup luas. Sebuah ranjang besi berkelambu berada di dekat pintu. Di sudut kamar terdapat sebuah meja kerja dari kayu jati yang permukaannya cukup lebar. Di sebelahnya ada meja rias. Di salah satu dinding tergantung lampu tempel berbahan bakar minyak tanah yang nampak masih baru.

“Kamar mandinya di mana?”

“Di luar, nyonya. Di dekat dapur. Biar saya antar nyonya ke sana.”

“Saya belum menikah,” Cornelia sejak dari pelabuhan merasa tak nyaman dipanggil nyonya.

Selesai mandi, Cornelia dan Willem duduk berhadapan di meja makan. Ada berapa jenis masakan terhidang. Semuanya menu ala Eropa.

“Masakan inaq lumayan lezat,” kata Cornelia.

“Susah belasan tahun ia menjadi pembantu keluarga Belanda. Pemilik rumah ini salah satunya. Ia opsir Belanda, sekarang bertugas di Bali. Dia mengijinkan saya menempati rumah ini. Tak dipungut sewa. Asal dirawat baik. Dan saya tak repot cari babu. Sepeninggal opsir itu inaq tinggal bersama saya.”

Mata Willem mengitari meja, mencari-cari sesuatu.

“Inaq!”

“Saya, Tuan Muda,” Rabiyah membungkuk lalu bersimpuh di lantai dekat meja makan.

“Sayur itu, apa namanya. Kenapa tak ada di meja?”

“Cecengeh, Tuan Muda. Sebentar saya ambilkan,” sahutnya segera bangkit. Dari dapur ia kembali membawa semangkuk sayuran.

“Kau coba ini. Hidangan lokal pakai santan encer. Ada bermacam sayuran di situ. Semacam lodeh kalau di Batavia. Saya cukup suka,” kata Willem sambil menyendokkan isi mangkuk ke piring Cornelia.

Sambil makan Willem bercerita tentang menu-menu kuliner di Ampenan dan sekitarnya. “Di Kampung Arab saya pernah beberapa kali makan gulai kambing dan nasi kebuli. Di sekitar simpang lima ada warung Cina. Saya suka capcaynya. Dekat-dekat sini ada sate kambing orang Madura. Sedangkan masakan inlander sini juga cukup lezat, hanya awalnya saya tak tahan pedasnya. Tapi lama-lama terbiasa.”

Cornelia menyimak sambil mengunyah pelahan-lahan. Ia baru benar-benar menikmati makanan sekarang. Selama beberapa hari perjalanan melelahkan dari Tanjung Priok ke Pelabuhan Ampenan, ia tak pernah berselera menyantap hidangan koki-koki di atas kapal.

“Selain cecengeh, ada pedis panas. Itu, sayur asam. Ada juga pes tain lale.”

“Apa?”

“Pes atau pepes tain lale. Kalau diterjemahkan sangat jorok. Tain itu kotoran, tahi. Lale artinya wanita berdarah ningrat.”

“Stop, stop. Kau membuatku mau muntah!”

“Sori. Saya lanjutkan sedikit. Tain lale itu untuk menyebut sari atau pati minyak kelapa. Pati ini diberi bumbu dan daun kemangi, dibungkus daun pisang, lalu dipanggang di atas bara. Rasanya gurih, dimakan bersama nasi. Itulah pes tain lale, tahi…”

“Kau ulangi lagi, aku masuk kamar saja. Tidur. Capek, Willem!”

Mata Cornelia melotot, galak. Tapi justru dengan mata membelalak itu ia terlihat semakin cantik.

“Baik. Kita bahas makanan lain saja. Juga inlander punya. Sambel goreng kenango namanya.”

“Kenango?”

“Ya. Itu kuliner inlander sini yang paling ekstrem. Itu tak pernah saya makan. Mereka memakan serangga. Kenango, orang Jawa menyebutnya walang sangit. Hama penyerang tanaman padi, baunya sangat tajam. Dimasukkan di sambal goreng. Tapi ada banyak yang memakannya mentah-mentah dengan sambal terasi.”

“Willem! Sepertinya kau sengaja cerita begitu supaya saya tak betah, dan kembali ke Batavia. Begitu?”

Cornelia tak menunggu jawaban. Ia bangkit meninggalkan meja makan.

Di tempat duduknya Willem tertawa sampai pundaknya terguncang-guncang. Telah lama ia tak menemukan suasana seperti itu. Ia paling suka menggoda. Ia senang melihat adiknya marah-marah.

Di dekat pintu, Rabiyah menawarkan sesuatu.

“Non Lia pasti capek sekali. Mau saya pijit?”

“Inaq bisa mijit?”

Wanita pribumi itu mengangguk.

Di dalam kamarnya, Cornelia melepas seluruh pakaiannya. Telanjang bulat. Rabiyah menatap tubuh putih bersinar di keredupan sinar lampu teplok. Tubuh padat dengan pinggul besar. Dadanya padat membusung. Rambut sedikit bergelombang tergerai hingga menyentuh pinggang. Rabiyah bukan sekali ini menyaksikan nyonya-nyonya dan gadis Belanda bugil di depannya. Tetapi, Cornelia tak hanya cantik di wajah. Tubuhnya jauh lebih molek dibanding belasan wanita Eropa yang dikenalnya.

Ia meminta Cornelia telungkup di kasur. Rabiyah seperti menyentuh kulit seorang bayi. Dengan hati-hati tangannya mulai memijat. Tak berapa lama gadis itu terlelap. Rabiyah menutupi tubuh telanjang itu dengan selimut tebal. Ia buka pengikat kelambu, menutupnya rapat. Pelan-pelan ia melangkah ke luar, dan menutup pintu kamar tanpa sedikit pun menimbulkan suara. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

]]>

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait