Dua minggu sebelum peristiwa Rotterdam Blitz, pengeboman udara yang dilakukan Luftwaffe, angkatan udara Jerman, pada 14 Mei 1940, Cornelia sekeluarga meninggalkan Belanda. Mereka sudah merasa tak aman hidup di negeri sendiri. Keberangkatan mereka ketika Perang Dunia II baru berlangsung setahun.
Nama lengkapnya Cornelia Doutzen. Lahir pada 10 April 1921, di Rotterdam, Provinsi Holland Selatan. Kota terbesar kedua di Belanda setelah Amsterdam. Kota populer dengan pelabuhannya yang terbesar di dunia.
Cornelia bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya, Willem Hendrick, usianya terpaut hampir 10 tahun. Ibunya meninggal ketika ia masih berusia 8 tahun. Setahun kemudian ayahnya menikah lagi.
Willem menyelesaikan sekolah kedokteran di tahun 1934. Dua tahun setelah itu ia berangkat ke Indonesia. Ia tinggal bersama pamannya, adik ayahnya, di Batavia. Sang paman seorang perwira tinggi Koninklijke Nederland Indische Leger (KNIL), atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ia sempat setahun sebagai tenaga pengajar di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Sekolah Dokter Pribumi di Batavia.
Dari beberapa temannya, Willem mendengar kabar sebuah kawasan bandar laut yang sedang berkembang pesat. Lokasinya di ujung barat Pulau Lombok. Nama Ampenan cukup populer di Batavia ketika itu.
“Kalau tujuanmu mencari uang, di situlah tempatnya. Saudagar-saudagar besar berkumpul di situ. Dokter di sana belum banyak,” saran salah seorang sahabatnya.
Awal 1939, Willem berangkat ke Lombok. Di rumah tempatnya tinggal di Kampung Sukaraja, sekaligus tempat praktik. Cerita kawannya benar. Sampai ia terkadang kewalahan melayani pasien. Mulai dari kalangan menengah keatas warga pribumi, warga pendatang dari Melayu, Arab, Tionghoa, hingga Eropa.
Ketika hampir dua tahun menetap dan bekerja di Ampenan, Willem mengambil cuti, kembali ke Batavia. Di rumah pamannya ia terkejut melihat kehadiran orangtua dan saudaranya.
“Aku membenci perang. Di sini pun pertempuran tak pernah berhenti,” Cornelia mengutarakan keluhannya pada suatu sore.
“Di Lombok perang sudah lama berlalu. Aman, damai dan makmur.”
“Lombok berada di mana?”
“Di timur Pulau Jawa ada Bali, di timurnya lagi.”
Gadis itu menghembuskan nafas panjang. Lombok. Betapa jauhnya. Penatnya belum lenyap setelah pelayaran panjang Rotterdam-Batavia beberapa pekan lalu.
“Kau bisa buka les, mengajar anak-anak pembesar setempat bermain piano. Aku balik ke Lombok seminggu lagi. Kau boleh ikut. Tapi pikir-pikirlah. Kirim surat kalau kau nanti benar-benar siap.”
Cornelia tak melanjutkan lagi pembicaraan. Ia lesu. Ia tak tahu dan tak ingin memikirkan apa pun saat-saat ini. Setibanya di Batavia, hampir saban malam ia terbangun. Tidurnya tak pernah lelap hingga dini hari. Mimpi-mimpi yang mengerikan. Ia selalu terbangun dengan tubuh berkeringat dingin. Dadanya terasa sesak, tubuhnya menggigil. Mimpi yang sebenar-benarnya telah terjadi di negerinya. Sebuah kota yang terbakar. Pengeboman di Rotterdam meluluh lantakkan lebih dari 80 ribu rumah warga. Hampir 1.000 orang tewas, beberapa di antaranya keluarga dekat.
Sepuluh bulan kemudian Cornelia merasa mantap dengan sebuah keputusan. Ia menerima anjuran kakaknya. Ia mengirim surat kepada kakaknya di Lombok, memberi tahu tanggal keberangkatannya.
“Hampir setiap malam para opsir muda datang. Perwira-perwira tampan, gagah berani. Mereka bercerita tentang kehebatan masing-masing di medan pertempuran. Menceritakan saat-saat pribumi meregang nyawa setelah diberondong peluru. Perang dan perang, selalu cerita perang. Saya muak!” tulisnya.
***
Jam sepuluh pagi.
Jembatan Kuning, jembatan Ampenan itu, begitu ramai. Orang-orang berjalan kaki dan bermacam kendaraan, hilir-mudik. Jembatan cukup panjang di atas Kokok (sungai) Jangkuk yang jernih ini, lebarnya nampak kurang memadai menampung arus pengguna lalu-lintas.
Pagi yang cerah. Cornelia sudah bangun tiga jam lalu. Ia memeriksa seluruh kamar di rumah itu. Ada tiga ruangan di lantai atas, semuanya kosong. Di bawahnya terdapat 3 kamar tidur, ruang tengah dan ruang tamu. Di ruang tamu inilah Willem mengubahnya menjadi kamar untuk menerima pasien. Ada dua bangku panjang di situ. Separuh ruangan disekat menggunakan papan bercat putih, tempat memeriksa pasien. Dua buah almari berisi obat-obatan menempel di dinding papan.
Setiap hari Willem ditemani seorang asisten. Lelaki bermata sipit. Seorang Tionghoa yang juga warga Ampenan.
Willem memulai aktifitasnya sejak pukul 08.00 hingga 14.00 wita.
Cornelia menemui Rabiyah di dapur. Perempuan itu sedang mengeringkan piring dan gelas yang baru dibersihkannya. Ia telah selesai memasak menu santap siang. Pagi tadi, Cornelia meminta dibuatkan nasi goreng dengan telur ceplok. Ia penasaran dengan sambal terong Aceh (jenis tomat berukuran kecil seukuran kelereng) yang diceritakan Rabiyah saat memijatnya semalam.
“Ini maiq, Non.”
“Maiq, apa itu?”
“Heel erg lekker (sangat lezat, bahasa Belanda),” sahut Rabiyah.
Tetapi wajah gadis itu seketika merah padam ketika lidahnya mencicipi seujung sendok sambal itu. Bibir dan lidahnya terasa seperti terbakar.
“Bawa, bawa penyakit ini ke dapur,” pekik Cornelia terengah-engah dengan mulut menganga.
Willem terpingkal-pingkal hampir tersedak. Ia meletakkan sendoknya di piring, melanjutkan tertawanya. Cornelia cemberut, merasa tak senang ditertawai disaat ia disiksa rasa pedas yang seperti menusuk gendang telinga.
“Inaq,” sapa Cornelia, “Ayo temani jalan-jalan.”
“Panas-panas begini? Ini Ampenan, Non.”
“Kita bawa payung.”
Rabiyah bergegas ke kamar, mengganti pakaian.
Jalan raya kian ramai. Kedua wanita itu berjalan ke arah barat. Semalam Cornelia tak dapat melihat dengan jelas. Hampir semua bangunan di kiri-kanan jalan milik orang-orang Tionghoa.
Di emper-emper toko, orang-orang bergeletakan. Ada yang bersandar di dinding. Mereka bukan gelandangan, tetapi para pemilik toko yang mabuk candu. Di tangan mereka masing-masing menggenggam alat madat.
Peredaran candu dilegalkan pemerintah kolonial Belanda. Pajaknya sangat tinggi, sehingga hanya kaum berkantong tebal yang mampu membeli.
Mereka sampai di depan kamar bola. Orang-orang meletakkan tongkat permainan di atas meja, memandang terpesona ke arah jalan. Berpasang-pasang mata terbelalak takjub dengan mulut ternganga. Dewi Eropa turun siang bolong di bumi Ampenan. Cornelia tahu ia sedang diperhatikan.
“Laaa, telok gati!”
Keduanya kini berbelok ke Jalan Koperasi. Di sini keadaannya lebih ramai. Cornelia kembali menjadi pusat perhatian. Tapi tak ada yang mengusik. Siapa berani mengganggu sosok yang menjadi bagian satu kesatuan bangsa yang sedang menancapkan kuku kekuasaan di seluruh penjuru negeri? Hanya terdengar komentar yang sama seperti di depan rumah bola tadi.
“Telok gati, maksudnya?” tanya Cornelia.
Rabiyah tertawa. Ia menerangkan panjang lebar. “Nona seperti telur. Telok itu telur.”
Orang-orang Lombok, mengibaratkan wanita yang terlalu cantik seperti telur. Benda yang sensitif, halus mulus, sehingga harus diperlakukan dengan sangat hati-hati.
Senyum Cornelia merekah setelah Rabiyah memberi penjelasan. Senyum teramat indah, seolah mampu meredupkan terik matahari Ampenan. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)
]]>