deAmpenan – bagian 4

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
deAmpenan

Tiba-tiba ada yang berubah. Cornelia Doutzen belum seminggu berada di Lombok. Tapi sehari setelah kedatangannya di Ampenan, jalan di Kampung Sukaraja di samping rumah dan tempat praktik dr Willem mendadak ramai dilintasi orang.

Sejak orang-orang di kamar bola dan di perlimaan Ampenan melihat kemunculan sosok cantik noni Belanda di siang yang benderang, segala penjuru di kota bandar itu punya topik hangat. Pembicaraan terfokus hanya tentang Cornelia.

“Ana lihat dengan mata kepala sendiri. Ana ndak jadi sodok bola. Rokok di mulut ana ndak sadar terjatuh. Ana kira dia jin, tapi ana lihat kakinya menyentuh tanah. Masyaallah. Ana berani bertaruh, satu Lombok ini ente semua keliling, ndak ada yang mampu saingi cantiknya si harem Belanda itu,” kata Rahman Ibnu Goffar, seorang pemuda di Kampung Arab.

“Siapa namanya?” bertanya teman di sebelahnya.

“Ana lupa tanya si Rabiyah,” jawab Rahman, “Semalam ana sampai mimpi ketemu dia. Dia cantik. Terlalu cantik. Sehebat ana gonta-ganti harem ana ndak bakalan bisa menggaetnya. Apalagi ente semua yang punya tampang pas-pasan.”

“Tapi perempuan di mana pun gila harta, Heb. Ente pinjemin ana fulus. Panggil ana hewan, kalau dalam tiga hari noni itu tak nempel dengan ana. Itu cuma soal fulus.”

Di Kampung Banjar, Kampung Melayu, Sintung, Gatep, Otak Desa, hingga Dayen Peken pun membahas topik yang sama.

“Dia tak kalah dengan putri-putri raja. Bahkan lebih cantik. Kulitnya seperti kedebong (batang pisang yang dikupas). Putih mulus,” tutur Jemuhur, pedagang cendol keliling ketika mangkal di Kampung Melayu.

“Seperti Dewi Anjani?” tanya seorang pelanggan sambil meneguk habis sisa cendol di gelasnya.

“Ya. Barangkali sama cantiknya. Tapi noni itu bermata biru.”

“Ndek man taok senggeger Sasak. Berembe-berembe inges nine. Maeh bae pedait aku. Jak kupiyak jari senine ketelu (belum tahu pelet/guna-guna Sasak. Bagaimanapun cantiknya wanita. Ayo pertemukan saya. Saya akan jadikan istri ketiga),” sahut Tuwaq Munggah, seorang nelayan dari Pondok Perasi.

Di sudut sebelah utara jembatan Ampenan, di area kosong tak jauh dari ruang praktik dr Willem, ada aktifitas dadakan. Ada puluhan lelaki berkerumun, bermain gasing. Mereka, para bujangan bahkan lelaki yang telah berkeluarga. Tangan memasang tali memutar gasing, tapi tatapan mereka tak pernah lepas dari pintu rumah sang dokter yang selalu terbuka sepanjang hari. Mereka sama-sama menunggu kemunculan seseorang.

Sore itu Cornelia berdiri di ambang pintu, memandang ke arah gang yang menuju Kampung Melayu Timur. Semua lelaki menghentikan permainan, menatap tak berkedip pada sosok yang muncul di pintu. Semua menahan nafas. Keanggunan yang memikat, menyihir, membuat mulut-mulut mendadak bungkam. Ketika gadis bermata biru itu masuk kembali, mereka membubarkan diri. Sore telah larut.

Merebaknya kedatangan noni Belanda di Ampenan yang kecantikannya membuat nafas-nafas terhenti, sampai juga ke telinga Babah Hongli yang tinggal di sekitar kelenteng Ampenan. Ia lelaki bujangan walaupun hampir berusia enam puluh. Bujang lapuk ini tak pernah berhenti berusaha mendapatkan jodoh.

Pagi-pagi sekali ia berangkat menuju tempat praktik dr Willem. Di kepalanya telah tersusun rapi sebuah rencana.

Babah Hongli adalah pasien pertama pagi itu.

“Tumben, Babah. Sakit apa?” sapa Qiang Chen, asisten Willem.

“Saya mau periksa.”

“Iya, keluhannya apa?”

“Anu. Dada saya berdebar terus, sudah seminggu.”

“Tidur tak ada masalah?”

“Ya, ya, saya juga tak bisa tidur. Seminggu berturut-turut tidak bisa tidur.”

“Makannya bagaimana?”

“Ya, saya juga tak makan-makan, sudah seminggu. Aduh, kamu nanya terus, bawa saya ke dalam, biar diperiksa dokter.”

Tapi Qiang Chen tak juga mengantarnya. Lelaki itu memberikannya bungkusan kertas.

“Babah bawa pulang vitamin ini. Minum tiga kali sehari. Tak usah bayar.”

Babah Hongli menerima bungkusan itu. Ia kehilangan kata-kata. Rencananya ingin bertemu Cornelia gagal sudah. Andai ia diantar masuk ke ruang periksa, ia berkesempatan menengok ke dalam rumah dokter itu. Dan pasti gadis rupawan bermata biru itu ada di situ. “Bangsat kamu Qiang Chen,” makinya dalam hati.

Baru saja ia pergi, Cornelia muncul di ruang tunggu itu. Lalu ia kembali memandang keluar. Ia melihat sesuatu di luar pintu. Sebuah benda berwarna hitam seperti kantung kain kecil. Ia masuk lagi. Tak lama ia kembali bersama Rabiyah. Babu itu memungut benda yang dilihat Cornelia.

“Bahaya, Non. Ini pasti senggeger. Guna-guna. Senggeger untuk Non Lia. Saya harus kencingi, biar buyar mantranya,” kata Rabiyah. Ia mengangkat kainnya setinggi paha, melangkah ke arah Sungai Jangkuk.

“Inaq mau ke mana? tanya Cornelia.

“Saya kencingi guna-guna ini di kali.”

“Jangan, Inaq. Tidak malu diintip orang?”

“Siapa juga yang intip barang seda saet (rusak parah). Sudah tiga kali diperisteri orang. Arab dua kali, orang Sasak sekali.”

Cornelia tertawa mendengar Rabiyah. Tapi ia tetap melarang perempuan itu turun ke kali. “Di dalam saja kencingi,” katanya.

Dari kamar kecil, terdengar jelas suara ngocor: serr-serr-serrr. Suara kencing Rabiyah yang sudah menjanda tiga kali. Dan musnahlah sudah daya magis senggeger dalam bungkusan hitam itu. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

]]>

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait