Selama berpuluh-puluh tahun, Jembatan Kuning, jembatan di Ampenan itu, hanya memenuhi fungsinya sebagai penghubung wilayah yang terbelah aliran Sungai Jangkok. Orang-orang bergegas melintas, untuk berbagai keperluan di seberang kedua arah. Secara khusus, jembatan itu hanya menjadi tujuan para pemancing, karena di bawahnya aneka jenis ikan tak ada habis-habisnya.
Tetapi jembatan Ampenan kini selalu disebut-sebut. Ada suasana baru di ujung jembatan. Ratusan orang memadati area yang tak seberapa lebar, setiap sore.
Betapa keelokan seorang dara menyimpan kekuatan seperti planet-planet yang memiliki gravitasi. Kecantikan dan keramahan Cornelia menyebabkan banyak orang ingin selalu berada dekat dengannya.
Dan Kampung Sukaraja masyhur seperti ladang emas yang diburu tak hanya warga sekitar. Para lelaki kini mesti berdandan, setidaknya menyisir rambut sebelum tiba di gerbang kampung. Sebab di situlah si noni jelita berdiam.
Tiba-tiba gasing yang hanya dimainkan di musim-musim tertentu, kini setiap hari dilombakan. Kamar bola yang selalu ramai didatangi kaum lelaki, kini separuh pengunjungnya berpindah ke depan mulut gang Sukaraja.
Semua ingin menjadi jawara dalam pergangsingan (bermain gasing). Bahkan mereka yang sama sekali tak pernah mengenal permainan ini, mendadak menekuni hobi baru. Salah seorang di antaranya Daeng Salam. Warga Kampung Pejeruk ini bahkan memesan empat buah gasing sekaligus.
“He, saya kasih uang di muka semua, cepak (cepat) selesaikan,” kata pendatang asal Makassar ini pada seorang perajin gasing di Sukaraja.
Sang Noni hampir setiap sore berada di gelanggang permainan, ditemani Raodah atau Rabiyah. Di tempat itu pun kini bermunculan para pedagang makanan. Jualannya celilong, keludan, wajik, serabi, kelepon, kaliadem, poteng reket, poteng ambon, jaja tujak, pelecing kangkung, urap-urap, sate pusut, sampai tolang komak.
Setiap primadona Ampenan itu muncul, para pemain gasing pun beraksi. Ada yang memutar gasing di atas telapak tangan. Ada yang menghentak tali benda itu sampai terdengar seperti ledakan. Ada pula yang menghantam gasing lawan yang sedang berputar sekuat-kuatnya. Gasing yang diserang belah dua. Cornelia selalu bertepuk tangan untuk setiap atraksi yang ia tahu dipersembahkan untuknya. Dan para lelaki itu semakin kajuman (bertingkah, cari perhatian, lebay).
Setelah berlatih tiga hari berturut-turut di rumahnya, Daeng Salam turun gelanggang. Ekor matanya melihat noni itu sepertinya sedang menunggunya memamerkan kelihaian. Setelah tali ia pasang, ia membidik sebuah gasing yang sedang berpusing di tanah.
“Ayo, Daeng! Hantam, Daeng!” sorak para penonton memberi semangat.
Gasing Daeng Salam menukik, begitu tali dilepaskan. Tapi terdengar seseorang mengaduh kesakitan. Ujung tali gasingnya melecut daun telinga seorang di belakangnya. Gasing Daeng Salam sendiri bukannya mengenai gasing lawan, tetapi menyerempet ujung jempol kakinya.
Kaki lelaki beranak empat itu berdarah. Cornelia menjerit ngeri. Tapi Daeng Salam seolah-olah tak merasakan sesuatu.
“Cuma luka kecil. Bukan laki-laki kalau takut terluka dan berdarah, ya,” katanya sambil mundur, memberikan giliran pemain gasing lainnya.
Sebuah jip berhenti di depan rumah Dokter Willem. Dua lelaki Belanda bertubuh tinggi besar turun dari kendaraan.
Bajingan itu, ia benar-benar datang, ucap gadis itu dalam hati. Seorang lagi ia tak kenal. Ia mempersilakan keduanya masuk. Pintu kamar Willem diketuknya.
Graaf Maarten memperkenalkan temannya. “Namanya Joan van Dirk. Ia masih famili. Ia tinggal di Taman Kapitan. Saya menginap di rumahnya.”
Perwira Belanda itu baru sampai siang tadi. Ia mengatakan hanya berada di Lombok selama tiga hari. “Cuti saya ternyata hanya sebentar. Saya tak tahu alasannya. Saya hanya memenuhi janji kepada Cornelia, bahwa saya akan datang dan menjemputnya kembali ke Batavia,” katanya.
“Hakmu apa memaksa saya kembali ke Batavia?” Cornelia bertanya dengan nada tinggi.
Graaf menatapnya tajam. Wajahnya memerah. “Kau dibutuhkan di Batavia,” katanya.
“Dibutuhkan?” sahut wanita itu sengit, “Dibutuhkan untuk kebohongan-kebohongan?”
“Kebohongan apa maksudmu?”
“Kita membuat berbagai acara, pesta-pesta, dan saya tampil di situ. Acara yang sengaja ditunjuk-tunjukkan pada rakyat pribumi, seolah-olah kita tidak ada persoalan.”
“Lalu? Kau keberatan?”
“Negerimu dijajah. Negeri kita. Kita terus tutup, merahasiakan, bahwa kita sendiri terbirit-birit di negeri sendiri. Sampai kapan kita menganggap bodoh pribumi? Kau pikir kau lebih pintar? Di mana letak kecerdasan itu ketika kita selalu bergantung pada senjata. Revolver, laras panjang, granat, meriam, bom. Kita pura-pura tak ada masalah. Itulah dusta. Dan saya tak mau terus-terusan menjadi bagian dari kebohongan.”
Wajah Graaf semakin kelam. Merah padam.
“Jadi kau tak mau kembali?”
“Saya sudah nyaman di sini.”
Dari dalam saku bajunya Graaf mengeluarkan sesuatu. “Saya boleh kau bantah. Tapi apa kau bisa menolak surat ini?”
Di dalam amplop itu terselip surat dari pamannya di Batavia. Punya lampiran selembar surat resmi yang meminta kehadirannya mengisi sebuah acara penting.
“Siapkan waktu untuk berlatih. Kau harus tiba di Batavia beberapa hari sebelum malam acara. Malam yang akan dihadiri Gubernur Jenderal Hindia Belanda,” tulis pamannya.
Permintaan, kata lainnya sebuah perintah yang tak bisa ditawar-tawar. Mengatas namakan Jhr AWL Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, penguasa bumi dari Sabang sampai Merauke.
Cornelia meninggalkan surat itu di kursinya. Ia masuk kamarnya, tak muncul-muncul lagi. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)
]]>