Ia mendahului berangkat ke Batavia. Ia tak ingin bersama-sama dalam satu perjalanan bersama pemuda keparat yang nyaris merenggut kehormatannya.
Jassens Hordijk, pamannya, memberi tahu, acara penting yang disebutnya dalam surat beberapa hari lalu, adalah malam ramah-tamah bersama tokoh-tokoh dan delegasi di Batavia. “Angkatan muda pribumi juga diundang,” kata Jassens.
Mendengar kata pribumi itu, Cornelia terpikir sesuatu. Ia mengingat sebuah tembang dalam bahasa Sasak:
Ado anakku masmirah
Buaq ate kembang mate
Mule tulen ku bantelin
Sintung karing salon angin
Berembe bae side dende
Jangke ngene
Kembang mate kelepangna isiq angin
Laguk temoh side dende
Mauq bedait malik
Angin Alus, judul lagu itu, representasi kesedihan orang-orang Sasak. Notasinya yang menghiba-hiba, membuat gadis itu berlinang air mata, ketika ia mendengar Raodah membawakannya dengan suaranya yang bening, pada suatu sore di pinggir Sungai Jangkok.
Melodinya yang menyayat, seperti mengungkapkan jeritan dan kepedihan; orang-orang Sasak yang terpapar, ditindas sejumlah suku-bangsa selama berabad-abad. Orang-orang Sasak yang terus bertahan, didera jaman dan kerasnya kehidupan. Mereka yang memaksakan senyum, menimbun keluh-kesah. Bertahan dengan kemelaratan, kegetiran, di negeri yang subur dan memiliki sumber daya alam yang berlimpah: kekayaan bumi yang seolah bukan untuk mereka!
Cornelia bereksperimen membuat komposisi unik, dengan aransemen gabungan lagu Kadal Nongak, Angin Alus, dan sebuah notasi yang digubahnya sendiri. Ia juga ingin membalas kekesalannya kepada penguasa dan kaki tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di lain pihak, ia ingin turut menggelorakan semangat para pemuda pribumi, menuju cita-cita mewujudkan sebuah negeri yang merdeka.
Gadis itu akan tampil di Gedung Theater Schouwburg Weltevreden, sebuah bangunan bergaya neo-renaisance yang selesai dibangun di masa Pemerintahan Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen di tahun 1821. Di gedung inilah Wage Rudolf Soepratman menggesek biola memainkan notasi Indonesia Raya di hadapan peserta Kongres Pemuda II di tahun 1928.
“Hadirin, kita sambut penampilan gadis tercantik Rotterdam, pianis hebat tak tertandingi di Hindia Belanda. Cornelia de Ampenan!”
Cornelia memberi hormat kepada hadirin. Lekuk tubuhnya yang sempurna, tak dapat disamarkan gaun hitam yang dikenakannya, memancarkan pesona kemolekan gadis yang berangkat dewasa. Kecantikannya yang menawan, bahkan membuat Gubernur Hindia Belanda yang duduk di barisan paling depan, tak berkedip. Sambutan hadirin begitu gegap-gempita. Beberapa saat gedung itu meriah dengan tepuk tangan dan cuitan.
Ia cukup tegang untuk memulainya. Lagu itu telah belasan tahun dilarang pemerintah kolonial Belanda.
Cornelia mengawali persembahannya dengan dua bait terakhir lagu Indonesia Raya. Jantungnya berdegup. Lalu ia rangkaikan dengan komposisi gubahannya. Hanya denting piano yang dimainkannya itu mendominasi, terdengar di seluruh arena. Tak ada satu pun yang bersuara. Semua menyimak dengan sungguh-sungguh, terpesona. Ada yang mendengarkan sambil memejamkan mata. Gadis itu mengakhiri suguhan pertama dengan kembali menekan not-not yang syairnya berbunyi: Indonesia raya, merdeka, merdeka. Hiduplah Indonesia Raya.
Gemuruh tepuk tangan bergema, bahkan lebih meriah dari sambutan pertama. Seluruh hadirin berdiri. Juga sang Gubernur Jenderal. Cornelia lega. Ternyata, potongan lagu Indonesia Raya, yang diselip dalam komposisi yang telah dituntaskannya tak dikenal hadirin sebangsanya. Boleh jadi mereka sudah melupakan lagu yang mereka larang dibawakan itu. Tetapi gadis itu yakin, semua pribumi yang hadir di gedung itu pasti mengetahuinya. Terutama mereka yang bertepuk tangan paling semangat dan paling lama.
Instrumentalia kedua Cornelia, salah satu gubahan musisi klasik favoritnya, Ludwig van Beethoven. Pada persembahan terakhir, ia tak dapat menahan air matanya. Saat jemari menekan tuts memainkan gabungan dua tembang Sasak itu, ia membayangkan dirinya berada di Lombok. Di tengah orang-orang yang dikenalnya. Ia mendengar debur ombak Pantai Ampenan. Ia melihat gubuk-gubuk warga melarat di pesisir. Di gedung megah di kawasan elit warga Belanda itu, satu-persatu wajah-wajah itu bermunculan. Wajah Rabiyah, Raodah dan ibunya, juga… pemuda itu. Laki-laki yang kini begitu ia rindukan. Laki-laki yang pernah bersamanya di keindahan hamparan aneka puspa. Bergandengan tangan di taman laksana surga. Denting piano berakhir. Hening sejenak. Cornelia baru menyadari pipinya basah. Lalu gemuruh tepuk tangan itu kembali membahana.
Cornelia ingin menghirup udara segar di luar gedung. Ternyata puluhan orang membuntutinya.
“Terima kasih, Nona. Saya begitu terharu. Nona sangat berani. Sudah sangat lama saya tak mendengarnya. Walaupun tak utuh, tapi mampu memunculkan semangat. Nona hebat, permainan piano yang terdengar sangat indah. Terima kasih, terima kasih,” seorang lelaki berstelan jas menyalaminya. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih.
Di dalam berlangsung pementasan tari-tarian. Tetapi mereka tak berminat menyaksikannya. Mereka berebutan menyalami Cornelia.
Nama panggung Cornelia de Ampenan, menjadi salah satu alasan para pemuda menghampirinya. Semua mengaku dari Ampenan.
“Kok bahasamu beda? Saya kenal dan cukup bisa bahasa Sasak-Ampenan,” tanya Cornelia heran. Ia sempat mendengar seseorang berbicara dengan temannya menyebut kalembo ade.
“Edde banyak maaf, Non. Saya memang bukan orang Lombok. Saya orang Mbojo, Bima. Tapi saya sudah pindah ke Ampenan, tinggal bersama paman di Tinggar. Dia saudagar kuda. Kuda dari Pulau Sumbawa. Nama saya Usman, dipanggil Moa.”
“Sudah lama di Batavia?”
“Sudah dua tahun, Non. Saya kuliah di sini. Nanti akhir tahun saya pulang ke Ampenan.”
“Kalau kamu?” Cornelia bertanya pada seorang pemuda kurus jangkung.
“Saya Hasanuddin, panggilan Ace. Saya tinggal di Kampung Tangsi, di rumah kakak saya. Saya dari Brang Bara, di Sumbawa. Itu ne, kita nyeberang lagi dari Lombok ke arah timur. Di Sumbawa banyak ikan segar. Apalagi ikan serpi, aida banyak sekali, untuk bikin sepat. Kapan-kapan pulang kampung saya bawakan rarit (dendeng) kerbau atau mayung (rusa). Banyak mayung di sana, aida pokoknya banyak ee!”
Cornelia mengangguk-angguk tersenyum. Dialek pemuda itu cukup unik. Sering sekali menyebut e. Di situ e, kamu e, atau nanti e.
Gadis itu dengan cepat akrab. Ia mengatakan, ketika balik ke Ampenan nanti, ia berencana mendirikan grup musik.
“Ana ikut,” kata seorang berkulit hitam manis. Namanya Hafidz. Dari Kampung Arab, Ampenan. Ia juga mahasiswa di Batavia.
“Kamu bisa mainkan apa?” tanya Cornelia.
“Ana ahli gambus. Kalau didengar ana menting, dedare-dedare Ampenan eleh semua (saya ahli gambus. Kalau didengar petikan saya, gadis-gadis Ampenan hanyut semua).”
“Badaq iye, Heb (beritahu dia, Kawan),” timpal seorang temannya yang bernama Saleh Amir, pemuda Karang Kerem. Ia mengaku pandai menabuh gendang dan rebana.
“Saya Luthfi, orang Repoq Bebek. Tapi saya orang Sasak. Saya bisa main seruling. Saya juga mau bergabung nanti.”
“Boleh. Kamu boleh ikut,” kata gadis Belanda itu lagi.
“Aneh, dengan (orang) Repoq Bebek tie (itu)?” celetuk Hafidz.
Cornelia sangat terhibur bercengkerama dengan para pendatang dari Ampenan, malam-malam di tengah kota besar, di pusat kekuasaan kolonial Belanda itu.
Ia lalu pamit, kembali ke dalam gedung pertunjukan. Di pintu masuk, ia berpapasan dengan seseorang.
“Wah, jagoan Hindia Belanda. Bisa juga babak belur?”
Ia melihat Graaf Maarten berjalan tertatih-tatih dengan tongkat di ketiaknya. Salah satu kakinya diseret-seret. Ada perban di kening, dagu, dan sikunya.
Lelaki itu menundukkan kepala, tak menjawab. Ia terus berlalu, terpincang-pincang. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)
]]>