Cornelia ingin makan kelapa muda, tapi yang baru dipetik. Ahmad mengatakan ada kebun kelapa milik sahabatnya di Pejeruk.
“Tapi ini sudah sore. Bagaimana kalau besok. Kita jalan kaki saja ke sana.”
“Berapa jauh?”
“Kita harus melewati sawah. Tidak terlalu jauh.”
“Tapi kamu yang petik. Kalau orang lain saya tak mau makan,” gadis itu mulai bermanja-manja.
“Apa boleh buat.”
“Maksud kamu apa?”
“Saya tak pernah naik pohon kelapa. Tapi, tak apalah kalau dalam keadaan terpaksa.”
“Jadi kamu merasa terpaksa? Baik, lupakan saja. Kita batalkan saja,” gadis itu bersungut-sungut, mulai merajuk.
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah sang gadis. “Cepat sekali naik
darah. Iya, iya, saya siap memanjat untukmu. Ikhlas.”
.
“Betul?”
Ahmad mengangguk. Ia melihat gadis itu kini berubah cerah. Seulas senyum mengembang di bibirnya yang tipis, merah basah. Bola matanya bulat membesar, elok menyihir.
***
Rabiyah telah menyiapkan bekal. Mereka berencana pulang sore hari. Ahmad sudah menunggu di berugaq.
Jam sembilan lewat mereka berangkat. Mereka menyusuri pinggiran Sungai Jangkok. Di sepanjang kali inilah beberapa kali pasukan Belanda beristirahat, saat perang Lombok 1890-an.
Tiba di pinggiran Desa Pejeruk mereka memasuki areal persawahan.
“Masih jauh?” Cornelia bertanya.
Ia berada di belakang Ahmad, menyusul Rabiyah dan Raodah.
“Sudah kelihatan,” Ahmad menunjuk ke depan.
Mereka menyusuri alur pematang ke arah selatan. Lima belas menit kemudian mereka tiba di tempat tujuan.
Di kebun itu juga tumbuh pohon mangga dan nangka. Ada bebaleq (dangau) di bawah pohon mangga rimbun. Cornelia, Rabiyah, dan Raodah duduk beristirahat. Sedangkan Ahmad memeriksa pohon kelapa yang akan dinaikinya.
“Pohon kelapanya tinggi-tinggi, Ahmad,” Cornelia bangkit mendekati Ahmad.
“Saya akan panjat yang itu, yang paling banyak buahnya.”
“Tinggi sekali. Tidak usah, Ahmad.”
“Berapa pun tingginya saya coba.”
“Jangan, Ahmad. Batalkan sudah. Saya khawatir kamu jatuh.”
“Kamu khawatirkan saya?”
“Tentu saja.”
“Mengapa?” Ahmad mendekati pohon kelapa yang akan dinaikinya.
Cornelia tak menjawab.
“Kamu khawatir, karena kamu sayang saya?” Ahmad mulai memanjat, tetapi tangan Cornelia menahannya.
“Tak usah, Ahmad.”
“Jawab dulu.”
“Ya, saya menyayangi kamu,” kata gadis itu, tapi seketika wajahnya memerah.
Tubuh Ahmad bergerak ke atas, kini ia berada di pertengahan batang kelapa.
“Ahmad!”
“Kalau saya jatuh, kamu menangis?”
“Saya menangis dan merasa sakit.”
Ahmad semakin tinggi.
“Kalau saya mati?”
“Ahmad, jangan bicara begitu. Turun, Ahmad, turun!”
Tapi Ahmad sudah berada di puncak pohon kelapa. “Cornelia, jangan di bawah. Tolong minggir, saya akan jatuhkan buah kelapa ini.”
Delapan butir kelapa muda bergedebukan di tanah. Cornelia memandang ke atas. Ia merasa ngeri. “Turun, Ahmad. Cukup, sudah banyak sekali.”
Ahmad meluncur turun. Ia mengupas tiga butir kelapa dan melubanginya menggunakan parang. Sebutir untuk Cornelia dan dua buah kelapa untuk Rabiyah dan Raodah.
“Manis sekali, segar. Coba,” Cornelia memberikan kelapa yang baru diminumnya kepada Ahmad.
Pemuda itu meminum beberapa teguk, menyerahkannya lagi kepada gadis itu. “Habiskan airnya, sebentar saya belah agar isinya bisa dimakan.”
“Ehem, hemm,” Rabiyah mendehem keras, tapi ia sedang membelakangi keduanya.
“Inaq! Sukanya begitu.”
“Sebutir berdua. Aislaaa!”
“Tidak bisa diam inaq ini.”
Mereka makan siang di kebun. Semua bekal yang dibawa Rabiyah licin tak bersisa. Udara sejuk alam persawahan membuat mereka makan dengan sangat lahap.
Cornelia merasakan waktu begitu cepat berlalu. Hari telah sore.
Saat berjalan pulang, Cornelia hampir tergelincir di pematang sawah. Ahmad di belakangnya dengan sigap menahan tubuhnya. Tapi gadis itu segera duduk di pematang.
“Kaki saya keseleo.”
“Coba saya lihat,” tangannya memijat kaki gadis itu. Mata Cornelia terpejam.
“Sakit, Ahmad.”
“Sudah. Coba berdiri.”
Cornelia berdiri, namun ia sempoyongan.
“Senggeq (dukung di belakang punggung) saja dia, Ahmad,” saran Rabiyah.
Cornelia kembali mengeluh sakit. Akhirnya Ahmad mendukungnya. “Pegang erat leher saya.”
Gadis itu menurut. Ia peluk leher Ahmad. Sementara tangan pemuda itu menahan bawah kedua lutut gadis itu. Dada Cornelia terasa hangat menempel di punggungnya. Ahmad mulai melangkah.
Sepanjang jalan gadis itu merintih, mengerang. Terdengar seperti keluhan menahan rasa sakit. Tapi Ahmad jelas merasakan debaran keras, degup jantung gadis itu. Cornelia makin mempererat pelukannya di leher sang pemuda.
“Jangan terlalu kuat. Kamu bisa mencekik saya.”
Tapi gadis itu tak peduli.
Sampai di batas persawahan gadis itu minta berhenti.
“Turunkan saya di sini.”
“Kenapa? Saya senggeq kamu sampai rumahmu.”
“Jangan. Malu.”
“Kenapa dari tadi tidak malu?” Gadis itu melompat dari punggungnya, berlari menyusul Rabiyah dan Raodah. Sesekali ia menoleh ke belakang sambil mencibir dan menjulurkan lidah ke arah sang pemuda. Ternyata ia tak keseleo sama sekali. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)
]]>