Bangsa yang dinanti-nanti itu akhirnya tiba. Pada 8 Mei 1942, armada Jepang tiba di Pelabuhan Ampenan, dalam kawalan ketat pesawat-pesawat tempur. Kedatangan mereka dielu-elukan. Anak-anak menyambutnya dengan bendera-bendera kecil dan menyanyikan Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang. Lagu yang mudah dihafal lantaran liriknya singkat. Lagu kebangsaan terpendek di dunia. Jepang tiba tanpa perlawanan sedikit pun dari pasukan Belanda yang masih berada di Lombok.
Pemerintahan setempat serta-merta berada dalam kekuasaan militer Jepang. Badan propaganda yang terdiri dari sejumlah pejabat segera terbentuk. Mereka menyebarkan cerita tentang kemuliaan Jepang sebagai pahlawan perang Asia Timur Raya. Jepang pembawa kemakmuran Asia.
Pembersihan pun dimulai. Seluruh warga Eropa menjadi target operasi. Setiap hari para opsir Jepang dibantu orang-orang
pribumi menangkap dan menyandera bangsa asing tersebut, terutama warga Belanda, tanpa kecuali. Militer maupun sipil.
Di tengah suka-cita pribumi setelah hadirnya Jepang, ada sejumlah warga yang mulai curiga. Belum sebulan menduduki Pulau Lombok desas-desus yang bertentangan dengan gembar-gembor kebaikan Jepang mulai berhembus. Para opsir Jepang, penyelamat Asia Timur Raya itu, ternyata para keparat tak bermoral.
“Sejahat-jahat Belanda, mereka tidak pernah merusak kehormatan perempuan. Nippon jadah!” maki Jemuhur di warungnya.
Telah seminggu anak gadisnya tak pulang-pulang. Ia tak dapat menolak ketika belasan tentara Jepang datang ke tempatnya. Mereka menjemput anaknya, beralasan ia akan membantu tugas administrasi di kantor. Tetapi kabar terakhir yang ia dengar, anaknya tiap malam menemani para opsir yang bermabuk-mabukan.
“Istri saya sudah tiga hari menghilang. Saya tidak yakin dia akan kembali. Ada yang melihatnya tadi malam bersama orang Jepang naik jip ke Mataram. Mereka itu tidak bawa istri. Binatang, dilaknat mereka! Anak gadis dan istri orang dirampas. Saya tidak bisa terima ini!” kata seorang warga yang duduk di hadapan Jemuhur sore itu.
Delapan serdadu Jepang mendadak datang ke arena gasing. Salah satu di antaranya seseorang yang sudah cukup lama berada di Lombok. Dialah Hachiro, seseorang yang menyamar sebagai pedagang di Cakranegara. Ia pula yang beberapa kali mengamat-amati kediaman Dokter Willem selama beberapa bulan terakhir.
“Orang Belanda dan keluarganya di rumah ini ada di tempat? Itu pintunya terbuka,” tanya seorang opsir kepada Abah Karim.
“Sudah pergi, Tuan. Sudah lama berangkat ke Jawa.”
“Si Noni itu juga pergi?”
“Benar, dia ikut juga. Rumah ini sekarang hanya dihuni seorang pembantunya,” jawab Abah Karim lagi.
Opsir itu mengangguk-angguk, namun matanya tetap tertuju pada pintu rumah. Ia berbicara dengan teman-temannya dalam bahasa Jepang. Serdadu-serdadu itu belum beranjak meninggalkan tempat, walaupun telah mendengar penjelasan Abah Karim.
Lalu terdengar seruan-seruan tertahan. Orang-orang melihat Cornelia ke luar dari dalam rumah. Opsir yang tadi bertanya kepada Abah Karim tiba-tiba melayangkan tangannya. Ia menampar lelaki itu dengan sangat keras.
“Kusottare (makian Jepang), kamu babi! Berani bohong pada Jepang?” ia menampar lagi, diikuti tendangannya ke arah perut Abah Karim.
Lelaki paruh baya itu terjengkang dengan mulut berdarah.
Seorang opsir lainnya memburu Babah Karim yang tergeletak di tanah. Orang-orang berseru ngeri. Sebelah kakinya yang bersepatu lars siap menginjak kepala lelaki yang tak berdaya itu. Namun sesaat lagi kaki itu mendarat, sebuah batu sebesar kepalan tangan menghantam persendian lututnya. Opsir itu terjatuh dan berteriak mengaduh. Batu itu melayang dari arah berugaq. Hanya Ahmad yang sedang duduk di situ. Ia tengah memandang ke arah sungai seakan tidak mengetahui kejadian yang sedang berlangsung. Para opsir saling berpandangan. Seseorang membantu temannya yang terjatuh itu berdiri. Opsir itu berdiri dan mencoba berjalan, namun ia terpincang-pincang.
Opsir-opsir itu menatap dara Eropa yang berdiri di depan pintu dengan mata berkilat-kilat. Jakun mereka bergerak-gerak.
Wajah Cornelia pucat pasi. Ia segera masuk kembali. Tiga opsir memburunya. Tapi begitu mereka hendak melangkahkan kaki ke dalam rumah, ketiganya serempak terbanting ke tanah. Dari arah berugaq kembali batu-batu melayang, menghantam keras kepala opsir-opsir itu. Dua di antara mereka jatuh pingsan.
Opsir-opsir lainnya kembali berpandangan. Di berugaq masih terlihat Ahmad yang sedang membelakangi mereka. Lalu seperti dikomando, enam pucuk senapan serentak menyalak, menembak ke arah berugaq. Namun lebih banyak dari peluru yang berdesing, batu-batu melayang. Batu-batu dari Sungai Jangkok, dilemparkan tangan-tangan yang tak terlihat. Hujan batu yang mengakhiri keberingasan para serdadu Jepang. Delapan sosok tubuh bergelimpangan dengan kepala dan wajah berlumuran darah.
Orang-orang memandang dengan tatapan bergidik. Mereka satu-persatu meninggalkan arena. Tinggal Ahmad seorang diri. Ia mengumpulkan seluruh bedil milik para opsir. Ia lalu mengibaskan tangannya. Delapan jenazah serdadu itu lenyap. Tempat itu kembali bersih, seolah sebelumnya tidak pernah terjadi sesuatu.
Ia memanggil Cornelia. Gadis itu muncul bersama Rabiyah. Wajah mereka nampak panik dan ketakutan.
“Saya titip senjata-senjata ini. Sebentar Jemuhur mengambilnya. Nanti malam saya datang lagi. Tolong berhati-hati,” kata Ahmad.
Setelah Ahmad pergi, Cornelia menghampiri tumpukan senjata api di sudut ruangan. Ada enam pucuk senjata laras panjang, lima buah pistol, dan 14 buah granat. Ia mengambil sepucuk senjata, pistol semi otomatis ringan berkapasitas enam peluru. Senjata api itu dimasukkannya ke dalam saku mantel. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)