deAmpenan – bagian 67

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
deAmpenan

Pintu rumah itu kini jarang dibuka. Hanya Rabiyah yang sering terlihat keluar-masuk rumah pada pagi harinya. Setelah itu sepanjang hari pintu tertutup rapat. Sore itu beberapa opsir Jepang kembali mendatangi rumah itu. Seorang di antaranya mengetuk pintu dengan kasar. Dua wanita di dalam rumah saling berpandangan. Wajah mereka nampak tegang.
“Bukalah pintu, inaq. Mungkin ada sesuatu yang penting,” kata Cornelia.
Rabiyah menatap gadis itu dengan bimbang.
“Coba inaq lihat, siapa yang datang,” kata gadis itu lagi.
Tangan Rabiyah dengan ragu-ragu membuka gerendel pintu. Wajahnya seketika pucat-pasi begitu mengetahui empat serdadu Nippon berdiri di depan pintu.
“Kami menjalankan perintah dari komandan untuk membawa Nona Cornelia Doutzen. Kami tahu dia ada di dalam,” ucap seorang opsir.
Rabiyah tersurut. Ia tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dua opsir memasuki rumah. Rabiyah mencoba menghalang-halangi. Namun tangan salah seorang opsir mendorongnya hingga ia terjajar di dinding.
“Nona, ke luar nona! Kami akan mendobrak pintu kamar jika nona tidak ke luar!”
Dengan tubuh menggigil Cornelia membuka pintu kamarnya. Dua opsir itu kini sudah berada di depannya.
“Nona ikut dengan kami sekarang juga.”
Cornelia menatap keduanya. Wajah-wajah dingin dan kaku. Hatinya semakin tercekat.
“Boleh saya mengambil beberapa pakaian?”
“Silakan. Jangan lama-lama!”
Dua buah jip menunggu di depan rumah. Seorang opsir menggiring gadis itu ke salah satu kendaraan.
Dari arah belakang Rabiyah memburu gadis itu. Namun dua tamparan keras mendarat di wajahnya. Perempuan itu terbanting ke tanah dengan hidung berdarah.
“Kamu jangan coba menghalagi kami, babu!” bentak seorang opsir.
Dua kendaraan meninggalkan tempat itu. Nampak kecemasan membayang di wajah-wajah para pengunjung arena gasing. Seseorang membantu Rabiyah bangkit. Namun wanita itu kembali menjatuhkan diri. Ia berguling-guling di tanah dan memekik-mekik.
“Non Lia. Non Lia anakku. Tolong! Tolong anakku!” ia meraung-raung histeris seperti orang kesurupan. Air matanya terus bercucuran.


Setengah jam sebelumnya.
Ancaman itu benar-benar membuatnya tersentak. Secarik kertas merang ditulis dengan terburu-buru, disampaikan seorang kusir dokar kepadanya. Bunyinya: Ampenan tenggelam sebelum maghrib, hari ini. Sabtu, 13 Juni 1942. Anak Haram dari Aokigahara.
“Apa yang akan dilakukan bedebah Saburo Tsuyoshi?” Ahmad membathin.
Tetapi ia tak ingin menghabiskan waktu mereka-reka. Ia hanya memusatkan pikirannya pada satu kata: tenggelam. Dengan cepat ia menyimpulkan, ancaman itu berhubungan dengan laut. Ia berlari ke arah pantai, meminjam sampan kecil pada seorang nelayan. Tangannya mulai mendayung. Perahu membelah lautan, muluncur dengan kecepatan tinggi. Ia melihat sebuah titik di kejauhan. Semakin mendekat nampak olehnya sesosok lelaki berdiri tegak di atas sebuah rakit bambu.
“Selamat bersua kembali, Ahmad. Kedatanganmu apakah membawa kabar baik?” sapa lelaki di atas rakit.
Dari jarak sekitar tiga depa di selatannya, Ahmad juga berdiri sambil menjaga keseimbangan setiap gelombang menghempas sampan yang ditumpanginya.
“Kabar yang saudara inginkan seperti apa?”
“Jangan berlagak pikun, anak muda. Saya sudah memberimu waktu. Mari berbagi. Serahkan beberapa tetesan cairan dalam botol itu, lalu urusan selesai.”
“Saudara Saburo Tsuyoshi, saya tak pernah terikat sebuah urusan dengan saudara. Dan, mohon maaf, saya tak bisa memenuhi permintaan itu. Jangan berharap lagi.”
“Hmmm. Saya merekam seluruh percakapanmu dengan Ghalib yang terakhir kalinya. Saya dengar janjimu. Sebuah janji untuk orang-orang Ampenan. Kau akan melindungi mereka seumur hidupmu. Saya ingin sekaligus menguji janji itu,” kata Saburo.
Dari saku pakaiannya ia mengeluarkan dua botol kecil. Ia buka sumbat-sumbatnya. Detik itu juga di belakangnya nampak puluhan ribu makhluk bermacam wujud. Terdengar nafas-nafas mendengus, suara-suara bentakan dan caci-maki, raungan, dan lolongan, menindih suara deru angin dan gulungan-gulungan ombak.
Mulut Saburo Tsuyoshi nampak mengucapkan sesuatu. Begitu berhenti, sebagian besar mahkluk itu melesat ke arah barat.
Benarlah dugaan Ahmad, lelaki itu bermaksud menenggelamkan Ampenan dengan mencoba mengendalikan lautan. Matanya yang tajam melihat kepala gelombang dua kali lebih tinggi dari pohon kelapa, dua mil di arah barat. Ribuan jin dalam kendali Saburo Tsuyoshi mengacaukan arah angin. Dalam hitungan kurang dari sepuluh menit gelombang dahsyat itu akan tiba di pesisir, menabrak apa pun di depannya tanpa ampun. Ahmad menggigil memikirkan akibat yang bakal ditimbulkan bencana itu. Ia pun mengeluarkan sebuah botol yang serupa.
“Kau sudah berubah pikiran, anak muda? Bagus. Lemparkan benda itu ke mari,” ujar Saburo.
Ahmad seperti tak mendengar ucapan lelaki itu. Ia memutar botol tembikar tujuh kali berturut-turut. Lalu ia membuka sumbatnya. Ia menuang dua tetes cairan dalam botol ke permukaan laut. Asap putih mengepul. Terdengar sorak-sorai dan kepakan-kepakan sayap. Sepuluh ribu jin dan lima ribuan hewan raksasa bersayap seperti terlontar dari dalam botol, lalu serentak bergerak ke barat. Makhluk-makhluk itu mendekat ke arah gelombang besar. Mulut-mulut dan kepakan sayap menciptakan badai topan prahara. Kedahsyatan angin menghalau datangnya gelombang.
Melihat itu Saburo tak tinggal diam. Sekali lagi ia perintahkan makhluk-makhluknya yang masih bersamanya memperkuat laju gelombang.
Jantung Ahmad berdebar kencang. Gelombang itu kembali mendatangi. Makhluk-makhluk dalam kendalinya kini nampak terdesak, bahkan dua ribuan di antaranya roboh kehabihan nafas. Ahmad memerintahkan seluruh makhluk astral yang tersisa membantu pasukan yang mulai melemah.
Ahmad berseru tertahan. Makhluk-makhluk yang setia padanya itu tumbang satu-persatu. Gelombang semakin mendekat. Lima menit lagi Ampenan berubah menjadi samudera!

Di arena gasing orang-orang sedang menyusun sebuah rencana.
“Puluhan wanita Ampenan sudah menjadi korban, pemuas tentara-tentara Jepang yang berhati binatang. Sekarang giliran Non Cornelia dibawa pula. Kita harus bikin perhitungan. Kita harus melawan. Bebaskan Non Lia secepatnya,” tegas Daeng Salam.
“Bagaimana kalau habis maghrib nanti kita menyerang? Di rumah ada puluhan pucuk senjata pemberian Ahmad,” sahut Jemuhur.
“Di mana Ahmad sekarang?”
“Saya tidak melihatnya dari tadi.”

Seorang pemuda memberi tahu letak kediaman komandan para opsir Jepang. Ia yakin Cornelia dibawa ke tempat itu. “Dia tinggal di Kampung Tangsi,” katanya.
Mufakat bulat. Mereka akan beraksi selepas maghrib.
Tetapi, penghianat selalu muncul di mana-mana. Rencana serangan itu bocor. Sebelum mereka bergerak, jembatan Ampenan telah diblokade tiga ratusan tentara Jepang bersenjata lengkap.
“Kita menyeberang lewat sungai saja,” usul Abah Karim dengan berbisik.
127 warga Ampenan mengendap-endap menyeberangi Sungai Jangkok. Dua wanita turut serta. Mereka, Rabiyah dan saudaranya.
Namun belum sampai di tengah sungai, mereka dikejutkan suara rentetan tembakan dari atas jembatan. Delapan orang roboh tertembus peluru. Beberapa di antara mereka berteriak panik dan ketakutan. Namun suara tegas Daeng Salam yang berjalan paling depan membuat mereka kembali bernyali.
“Jalan terus. Pantang mundur jika kaki telah melangkah. Terus, jalan!”
Bedil di tangan Daeng Salam menyalak. Dua serdadu Jepang tumbang. Suara senjata lelaki Makassar itu menjadi komando senjata lainnya. Dengan pistol di tangan, Abah Karim memulai tembakan. Dua peluru pertama tak mengenai sasaran. Namun peluru ketiga tepat mengenai leher seorang opsir. Darah muncrat. Opsir itu rebah terjengkang.
Kini dari atas jembatan berhamburan ratusan peluru meninggalkan selongsong. Terdengar jeritan di sungai. Jerit-jerit kematian. Puluhan orang menemui ajal.
Babah Hongli merasakan nyeri di bagian tulang rusuknya. Ia merabanya. Samar matanya melihat darah kental di telapak tangannya.
“Saya tertembak,” bisiknya.
Tetapi sebelum ajal menjemputnya, ia melepas pin dan strike lever granat di tangannya. Dengan sisa kekuatannya ia berlari. Ia berhasil mencapai seberang sungai. Granat itu ia lemparkan sekuat tenaga ke ujung jembatan. Delapan belas opsir yang tak sempat menghindar, berkelojotan mandi darah, meregang nyawa.
Empat puluh dua prajurit Jepang tewas. Namun, di pihak lawan, tak satu pun bersisa.
Sabtu malam, 13 Juni 1942, air Sungai Jangkok merah mengalirkan darah. Darah 127 warga Ampenan yang gagah berani. Mereka gugur, mereka tak berhasil menyelesaikan sebuah rencana. Tetapi mereka telah menunjukkan harga diri, membuktikan sebuah perlawanan terhadap angkara murka.

Di tengah lautan, pakaian Ahmad bersimbah peluh. Lebih dari separuh tentara gaibnya bertumbangan. Kepala gelombang semakin mendekati pesisir. Matahari sudah lama menghilang.
Dadanya tambah berdebar. Tiba-tiba ia mengingat satu kemampuan yang dimilikinya sejak lahir. Hewan, hewan-hewan itu! Ia pejamkan mata, membuat interaksi gaib dengan seluruh makhluk laut. Saat itu juga jutaan makhluk air raksasa melesat dari tengah samudera. Mereka saling berhimpit membentuk dinding tebal menyongsong datangnya gelombang tinggi. Gelombang besar menerjang, namun kembali memantul ke tengah samudera. Di saat itulah Ahmad melompat dengan kecepatan yang tak tertangkap mata tahu-tahu telah berada di depan si Anak Haram dari Aokigahara. Secepat itu pula tangannya merampas dua benda di tangan Saburo. Lelaki itu tak sempat berkelit ketika dua jari Ahmad laksana patukan ular kobra merobek tepat di ulu hatinya. Ia pun tak sempat bersuara saat tangan pemuda itu mencengkeram jantungnya, membetotnya hingga terputus. Lelaki itu roboh dengan mata mendelik, tak berkutik lagi.

Maghrib, di sebuah bilik di kediaman Letnan Kolonel Hirasaki Takahiro.
Cornelia berdiri dengan dua tangan disembunyikan di belakang punggung.
Sesosok tubuh gempal memasuki bilik itu. Dialah sang perwira yang telah memberi perintah penangkapan terhadap dara Belanda itu. Ia telah lama mendengar kemasyhuran sang gadis, bintang kejora Ampenan. Muara dari segala kecantikan, elok tak terdefinisikan.
“Sebaiknya kau di sini saja, Nona. Kau akan sengsara kalau bersama para tawanan lainnya. Mulai malam ini kau musti menemaniku,” kata Hirasaki sambil melangkah mendekat.
“Lebih baik saya bersama mereka,” sahut Cornelia. Ia menatap wajah lelaki itu. Wajah bedebah yang nampak sangat mesum. Entah sudah berapa wanita pribumi yang menjadi korban hasrat cabulnya.
Hirasaki semakin mendekat. Tangannya yang jahil menyentuh dagu gadis itu. Dadanya turun-naik menahan kobaran berahi. Matanya berkilat-kilat, takjub pada kesempurnaan kecantikan dan lekuk tubuh sang gadis. Ia menyeringai, semakin menampakkan kecabulannya. Ia gapai pundak gadis itu, bersiap menerkam tubuh indah di depannya. Berahi yang telah sampai ke ubun-ubun, membuatnya tak menyadari moncong pistol menempel di perutnya yang tambun.
Dua kali tembakan membuat tubuh sang komandan terlempar ke lantai. Ia sempat menjerit sebelum meregang nyawa.
Tiga opsir tiba di depan pintu. Mereka melihat komandan mereka tergeletak tak bernyawa, bersimbah darah. Dan pistol di tangan Cornelia kembali menyalak. Dua opsir roboh. Tetapi, sebuah tembakan dari opsir ke tiga tepat mengenai dada gadis itu. Sebuah peluru lagi bersarang di lambung sebelah kiri. Gadis itu jatuh terlentang.
Tetapi ia tak merasakan sakit sedikit pun. Ia seperti mendengar bisikan. Suara yang dikenalnya. Suara Ghalib sang pertapa.
“Gadis, dunia ini rupanya bukan tempat untuk menuai cintamu. Yakinlah, kebahagiaan abadi menunggumu di alam yang lain,” ucap bisikan yang terdengar jelas di telinganya.
Ia kini mampu melihat dengan begitu jelas. Ia melihat Ahmad yang tengah menyelesaikan sebuah tugas yang sangat berat di tengah lautan. Ia tak kecewa. Ahmad memenuhi janjinya, walaupun ia sendiri tak terselamatkan. Ia kagum pada pemuda itu, yang berjuang melindungi lebih banyak manusia. Lalu muncul satu-persatu momen indah yang pernah mereka lewati bersama. Seperti gambar bergerak yang terpampang di layar lebar gedung pemutaran film. Sosoknya saat di-senggeq Ahmad di sepanjang garis pantai saat matahari akan tenggelam. Saat ia berbaring tidur di samping Ahmad di dangau sebuah persawahan. Saat Ahmad menggendongnya menyeberangi Sungai Jangkok. Saat Ahmad membawanya seperti terbang dari kawasan Gunung Sasak. Saat Ahmad menyanyikan Zie Aan Het Raam de Laatste Rozen Bloeien diiringi denting pianonya. Saat Ahmad menyuapinya makan di berugaq.
Ia menyebut nama itu sambil melepas senyum. Senyuman yang paling indah.
“Ahmad,” bisiknya sambil menghembuskan nafas. Hembusan nafas yang terakhir kalinya. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait