TELAH lebih dari 30 tahun ia berjualan sate. Jenis sate dagangannya tak pernah berubah selama ini. Semuanya ada tiga jenis, yaitu sate baduk (usus), sate daging sapi, dan sate pusut. Kuliner jenis terakhir ini berbeda dengan lazimnya varian sate dari daging yang dipotong-potong. Sate pusut berbahan daging sapi cincang yang dicampur parutan kelapa muda. Kegurihannya sangat khas, menggunakan beberapa bumbu di antaranya cabai merah, bawang putih, cabai rawit, garam, terasi, dan daun jeruk. Tusuknya pun berbeda, dibuat pipih dan lebar dari bahan bambu atau batang daun enau.
Namanya Miska, dipanggil Mis. Ibu empat anak ini memulai berjualan sate sejak Pasar Sweta masih beroperasi. “Setelah pasar itu pindah ke dekat terminal di Bertais, saya pindah jualan ke Pasar Kebon Roek, Ampenan,” ujarnya.
Setiap hari Mis membutuhkan bahan baku daging sekitar lima kilogram. Belum termasuk jeroan untuk bahan sate baduk. Ia mulai berjualan sejak pukul 07.00 wita hingga menjelang maghrib. “Yang saya jual ini semuanya Rp 1000 pertusuk,” jelas Mis.
Mis juga melayani pesanan untuk pelanggan yang sedang menggelar berbagai acara. Khusus untuk order di acara ini, ukurannya dibuat lebih besar. Praktis, harganya pun dua kali lipat dibanding yang dijajakan di pasar. Tetapi, kerap kali pemilik acara tak sempat memesan jauh-jauh hari sebelumnya. Tak ayal, sate jualan Mis di pasar pun diborong habis. “Ini terutama setiap hari Kamis. Ratusan tusuk sate selalu habis,” tuturnya.
Pada malam Jum’at, jelas Mis, adalah waktu rutin menggelar acara yasinan. Namun empunya hajat hanya memesan atau membeli sate pusut saja.
Sate pusut dapat ditemukan di setiap perhelatan. Dari penuturan sejumlah sumber, varian sate ini dulunya menjadi suguhan wajib di malam Jum’at, untuk acara yasinan, syukuran, ngurisang (cukur bayi), dan sejumlah acara tradisional lainnya. Kuliner ini menjadi istimewa, boleh jadi lantaran selalu nikmat disantap saat masih hangat ataupun sudah dingin. Kelezatan sate pusut tetap terjaga dalam kondisi apa pun. Selain itu tidak ribet saat menyajikannya, karena sate ini tidak mudah lepas dari tusuknya. Di samping itu, mengonsumsi jenis sate ini tak perlu repot menyiapkan tisu lantaran bumbu yang belepotan di bibir, sebab sate pusut termasuk makanan kering yang sudah menjadi satu dengan bumbunya.
Di tahun 1980an, sate pusut Ampenan mulai merambah ke pulau seberang. Orang pertama yang menjualnya di Kabupaten Sumbawa adalah Inaq Rusli. Ia warga Kampung Melayu Bangsal, Ampenan. Jualannya begitu laris, sejak hari pertama ia menjajakan menu spesifik ini. Sensasi nikmatnya sate pusut Ampenan mengalir sampai jauh. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

