Islam, Putaran Gasing, dan Ampenan yang Purba

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
Permainan gasing di Mataram, Lombok (Foto: Solihin Putra Sasak)

Sebuah cerita pendek berjudul The Top (gasing) ditulis Franz Kafka, sastrawan Ceko, di tahun 1917. Beberapa tahun kemudian Peter Kuper mengadaptasi kisah ini dalam sebuah komik.

Dalam teks The Top yang dalam bahasa Jerman disebut Der Kreisel, adalah cara cerdas Franz Kafka mencemooh seorang filsuf yang gagal memahami dunia.

Filosof yang dimaksudkan Kafka menguji teorinya dengan sebuah gasing yang sedang dimainkan seorang anak. Gasing berhenti berputar setiap kali dipegang. Dari sini ia berkesimpulan gasing adalah simbol dari bumi yang berputar. Gasing-dunia yang berputar-dan tangan yang menghentikannya. Tetapi ia mengabaikan ada unsur kekuatan lain yang berperan menggerakkan gasing, yaitu tali dan anak yang memainkannya.

Baik Kafka dan sang filosof, adalah representasi Eropa. Jika Kafka mengejek filsuf, maka saya mencemooh betapa telmi-nya — meminjam kosa kata gaul, telmi, telat mikir — dunia barat yang baru mengenal gasing di abad 19. Sementara benda ini tak hanya jadi alat permainan, tapi sebagai aksesoris Tutankhamun atau Raja Tut, raja Mesir Kuno yang memerintah dari tahun 1332-1323 SM. Gasing di makam Raja Tut yang wafat di usia 17 tahun itu terbuat dari kayu yang berukir.

Bahkan jauh sebelumnya, para arkeolog menemukan gasing dari tanah liat di Baghdad, Irak, yang berasal dari abad ke-35 SM, atau hampir enam ribu tahun yang lalu.

Lima abad lampau, Lombok kedatangan penyebar Islam dari Timur Tengah. Beberapa di antaranya berasal dari Baghdad, yaitu Nurul Rasyid bergelar Syekh Gaoz Abdul Razak dan Syekh Ibrahim al-Baghdadi. Mereka datang dari pintu utara Bayan, Lombok Utara.

Gaoz Abdul Razak mempersunting gadis Lombok bernama Denda Bulan, melahirkan seorang anak bernama Zulkarnaen yang menjadi cikal bakal raja-raja Selaparang. Dari beberapa literatur menyebut ulama ini juga memiliki istri lain bernama Denda Qomariah yang populer dengan nama Dewi Anjani. Dari nama istri ke dua inilah disebut-sebut sebagai asal-usul nama Gunung Rinjani.

Makam Syekh Gaoz Abdul Razak berada di Loang Baloq Mataram. Selalu dibanjiri pengunjung yang datang berziarah. Terutama saat lebaran topat, seminggu setelah Idul Fitri.

Kurang dari 10 kilometer di utara Loang Baloq, ada makam yang tak kurang ramainya dikunjungi. Namanya makam Batu Layar. Pusara yang berkait erat dengan Syekh Ibrahim al-Baghdadi. Cerita yang beredar, bukan fisik sang wali dikuburkan di makam ini. Jasad Syeh Ibrahim menghilang saat duduk di Batu Layar. Yang dikuburkan adalah sorban dan kopiahnya.

Lalu apa korelasi mainan gasing, kedatangan para ulama dengan Ampenan, kota tua di Lombok?

Saya mengadaptasi teori H Lalu Agus Faturrahman, pengajar filologi di FKIP Universitas Mataram (Unram) tentang paralelisme peradaban dan kebudayaan — untuk tidak menyebut spekulasi historiografis.

Kedatangan para penyebar Islam tentu saja disertai sejumlah pendekatan. Permainan gasing yang notabene berasal dari kebudayaan di Irak, tak menutup kemungkinan dibawa serta untuk mendukung misi utama. Gasing diperkenalkan di Lombok, dan sangat efektif sebagai sarana bersilaturrahmi dengan seluruh lapisan dan berbagai aliran kepercayaan di masyarakat di masanya.

Di dekat jembatan Ampenan, di tahun 1990-an, saya kerap menyaksikan permainan ini bahkan melibatkan orang-orang dewasa. Ampenan menunjukkan bukti sebagai salah satu wilayah dengan peradaban tertua, tak hanya dengan bangunan-bangunan era kolonial Belanda yang masih tegak berdiri. Ada bandar besar Pelabuhan Ampenan yang tertulis dalam sejarah. Sebagai pusat keramaian, Ampenan wilayah pertama yang menerima masuknya kebudayaan dari pelbagai penjuru negeri.

Di Jakarta, Endi Aras, seorang kolektor benda permainan rakyat, memiliki koleksi 354 gasing yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Salah satu gasing paling unik di gudang penyimpannya adalah gasing dari Lombok.

Menurut Endi, gasing Lombok adalah koleksinya yang paling banyak. Ia mengatakan benda dari Pulau Seribu Masjid ini sudah berevolusi delapan tahap.

Bentuk awalnya seperti jantung. Lambat laun berubah semakin pipih, mirip piring terbang. Proses evolusi ini tentu saja memakan waktu ratusan tahun. Bahan yang semula seluruhnya dari kayu, terus dimodifikasi dengan penambahan logam besi di bagian kepala, kaki, dan sisi gasing. Hebatnya, generasi terakhir gasing motif piring terbang Lombok bisa berputar tanpa henti mencapai 45 menit.

Di abad ke-8 SM, penyair klasik Homer menyebut gasing dalam salah satu sajaknya. “Ajax menangkap (sebuah batu) dan memukul Hektor di atas tepi perisainya di dekat lehernya; pukulan itu membuatnya bergerak seperti gasing dan berputar ke segala arah,” tulis Homer.

Baik Homer, Franz Kafka, ataupun seorang filsuf di Eropa — juga para pebotoh yang menggunakan gasing sebagai alat bertaruh di Las Vegas –barangkali berpura-pura tak cermat. Sejatinya, gasing berputar dari kiri ke kanan, seperti putaran jarum jam. Tetapi, di akhir putaran terjadi gerakan sebaliknya. Sebelum berhenti, gasing berputar dari kanan ke kiri. Seperti putaran bumi dan planet lainnya. Juga, seperti gerakan tawaf mengelilingi ka’bah. Gerakan yang menunjukkan kepatuhan terhadap pencipta dan pemilik jagad raya.

Permainan gasing — yang melahirkan hukum fisika — salah satu peninggalan kebudayaan tertua di dunia, akan menjadi salah satu mata lomba dalam HUT Kota Mataram yang ke-26, akhir Agustus mendatang. Diselenggarakan di pusat peradaban Pulau Lombok di masa silam. Di Ampenan, di kota tua itu.

Newton boleh saja memiliki kemasyhuran dengan teori fisikanya. Tetapi belum tentu ia sehebat orang-orang Lombok memainkan dan terus menyempurnakan gasing, dari masa ke masa. (Buyung Sutan Muhlis)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait

No Content Available