Sebuah Kota yang Hilang di Lombok (Bagian 02)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
Kitab lontar Babad Lombok

Para iblis laknat datang memenuhi Desa Lae
Ada yang sempat melawan
Tapi dihabisi dengan tombak, panah, dan bedil
Orang-orang Lae meninggalkan desanya
Mereka berlari mengungsi ke selatan
Ke Pengantap, Langko, Pejanggik
Ada pula yang berlari ke utara gunung
Menuju Sako, Tebango Bayan
Sebagian lagi berkumpul membangun benteng kota
Mendirikan negeri baru, Bumi Pamatan
(Intisari Babad Lombok, pupuh 220-222)

***
CIKAL-BAKAL negeri Pamatan, adalah sebuah Kerajaan Lae, dari berbagai literatur disimpulkan sebagai Kerajaan Laeq, dinasti tertua di Pulau Lombok. Dalam deskripsi Babad Lombok, negeri Pamatan adalah bumi yang gemah rifah. Keadaan aman tenteram pasca keruntuhan Kerajaan Laeq.

Di Pamatan, masyarakat membangun balai pertemuan. Lumbung-lumbung berdiri. Tanah subur negeri Pamatan tempat rakyat bertanam padi, jagung, bahkan sorgum. Buah dan sayuran berlimpah-ruah. Isi hutan dan laut adalah sumber protein yang tak pernah berkurang, yang memanjakan kehidupan orang-orang Pamatan, dengan ketersediaan pangan yang tak ada habisnya. Inilah puncak keemasan, fase kemakmuran sebuah suku bangsa di Pulau Lombok, yang mungkin tak pernah dirasakan lagi selama puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun kemudian.

Sampai pada suatu saat.

Teks-teks Jawa Kuno yang tertera di lembar-lembar lontar Babad Lombok, menceritakan gemuruh banjir batu menerjang negeri Pamatan. Kota itu dilanda gempa dahsyat selama tujuh hari tujuh malam. Babad Lombok mempertegas keadaan dua gunung, Rinjani dan Samalas, yang berperan dalam melenyapkan Pamatan. Gunung Rinjani yang longsor, bersamaan dengan keruntuhan Gunung Samalas, membuat rumah-rumah rubuh dan hanyut terbawa aliran piroklastik menyerupai lumpur, menjadi penyebab tewasnya ribuan warga kota negeri Pamatan.

Mereka yang berhasil lolos dari kematian, termasuk sisa-sisa kerabat kerajaan, menyelamatkan diri ke Jeringo, Samulia, Borok, Bandar, Pepumba, dan Pasalun, Serowok, Piling, Ranggi, Sembalun, Pajang, dan Sapit. Sebagian lagi menuju ke Pundung, Buak, Bakang, Tanak Beaq, Lembuak, Bebidas, Kembang, Kekerang, Pengadangan, hingga ke Langko dan Pejanggik.

Migrasi inilah yang menandai berakhirnya kerajaan Pamatan.

“Mereka mengungsi dengan ratunya. Genap tujuh hari setelah gempa itu, mereka membangun desa, di tempat (pengungsian) masing-masing,” demikian tersebut dalam Babad Lombok yang menuturkan secara khusus tentang kemelut alam bencana Gunung Samalas dalam enam pupuh.

Hasil penelitian Tim Geosain Evolusi Gunung Rinjani, pada tahun 2015, menyebutkan letusan Samalas menyisakan kaldera yang membentuk danau Segara Anak. Saat meletus, selain melemparkan jutaan ton material ke udara, pirosklastik mengalir melalui sungai menuju ke pantai Luk dan Nipah di Kabupaten Lombok Utara, membuat endapan mencapai 40 meter.

Tim tersebut melanjutkan hasil peneliti sebelumnya yang berhasil mencocokkan data yang didapat dari Lombok dengan jejak sulfur, tanggal radiokarbon, dan penyebaran batuan dan abu yang terdapat di Greenland, sebuah pulau di Samudra Atlantik bagian utara dan Antartika. Maka, misteri abad ke-13 pun terkuak.

Samalas menamatkan riwayat sebuah kota yang pernah mewujudkan kejayaan Lombok di suatu masa. Kedahsyatan erupsi gunung yang menyisakan kaldera ini, mengakhiri cerita tentang negeri Pamatan. Tapi sejarah tak berakhir di situ. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait