Sebuah Kota yang Hilang di Lombok (Bagian 04)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
Kota yang terkubur

KEKUASAAN tak mesti berawal dari masa-masa paceklik.

Euforia setelah lepas dari angkara murka, bebas dari tekanan apa pun, menjadikan rakyat negeri Pamatan benar-benar hidup dalam kebebasan yang tak terbatas. Berada di wilayah yang begitu subur, membuat rakyat berlomba mengelola lahan. Bekerja giat berdasarkan naluri, bahwa hidup adalah kecukupan sandang dan pangan, tidur yang lelap, dan beranak-pinak.

Inilah masa-masa awal kehidupan di Kota Pamatan, Pulau Lombok, delapan abad yang lampau. Kemakmuran negeri baru ini sampai juga ke telinga kaum perantau. Para pedagang berdatangan dari berbagai negeri, membawa aneka barang hasil industri dari peradaban lintas pulau dan benua, mengawali pola kehidupan konsumtif di Pamatan.

Datangnya orang-orang perahu, Suku Bajo, dari pesisir Sulawesi, menambah kenyamanan hidup warga kota. Nelayan Bajo menjajakan ikan lantang, tenggiri, hiu, kepiting, kima, tiram, dan berbagai tangkapan kekayaan laut di perairan Pamatan.

Tetapi, ternyata, peradaban manusia takkan sempurna walau kesejahteraan lahir dan bathin terpenuhi. Di puncak kejayaan sebuah komunitas dengan populasi yang kian bertambah, ada kegelisahan yang menggantung. Sebuah petanda kesadaran tertinggi bangsa yang matang. Pamatan negeri yang masyhur, butuh lambang, pada sosok representasi harga diri dan nama besar bangsa.

Begitulah. Warga Pamatan merindukan kelahiran pemimpin pertama.

Hari itu, kesibukan besar berlangsung di pusat kota. Setelah memilih pemangku, juru arah atau sekretaris negara, seluruh rakyat menunjuk seorang figur pemuda. Seseorang yang diyakini keturunan nabi yang selamat dalam pergolakan di masa Kerajaan Laeq.

Adalah Sang Prabu Darma Adil Sri Baginda Negeri Pamatan. Lelaki terbaik, beriman, berbudi luhur, muda belia, pilihan yang paling aklamatif dalam sejarah kekuasaan di Pulau Lombok. Ia ternobatkan dari keiklasan rakyat, bukan dari propaganda, bukan dari nafsu dan keinginan berkuasa. Ia ditunjuk dan diinginkan rakyat, bukan sengaja mengusulkan diri. Rakyat Pamatan membangun istana megah dengan segala isinya, persembahan untuk sang raja.

Pria agung itu disucikan dan segera disumpah, agar ucapan-ucapannya berkah dan mengandung sabda. Maka ketika warga ingkar, dengan kehendak Tuhan, mereka akan binasa. Baginda raja yang sejati, ketika titahnya dilanggar, akan menjadi pamali, kutukan yang berujung kualat sepanjang hayat.

Maka tak salah masyarakat Mesir kuno memiliki pemahanan yang dikemukakan filsuf Plato, ketika menghubungkan tiga kualitas keilahian pada seorang raja. Yaitu kepekaan berwibawa ada di mulut raja, persepsi ada di hati raja, dan lidah raja adalah tempat suci keadilan.’

“Air danau merah oleh darah hewan untuk perhelatan. Para pedagang Suku Bajo berdatangan melewati laut, membawa bermacam hadiah untuk raja pertama negeri Pamatan. Di atas panggung, Sang Prabu mulai dimandikan, ditaburi kembang dan wewangian. Orang membedakinya, boreh kuning di tubuh Sang Raja. Ada usungan berbentuk singa, Itulah tandu untuk Sri Baginda, dengan diiringi oleh wadia bala,” demikian dikisahkan Babad Lombok pupuh 247-249.

Penobatan Raja Pamatan ditandai ritual memecah kemiri dan meremukkan telur bersama permaisuri. Sorak-sorai mengelukan kehadiran raja pertama. Suara gamelan, tambur, dan dentum bedil, bagai meruntuhkan langit Pamatan, luapan suka-cita warga mensyukuri negeri yang kini resmi memiliki pemimpin yang dicintai, dihargai, dan dihormati.

Babad Lombok boleh jadi satu-satunya sumber yang bercerita tentang Kota Pamatan. Tetapi, Pamatan bukan mitos seperti Atlantis, kuburan bawah laut yang berawal dari khayalan Plato. Murid Socrates ini menggambarkan tentang kerajaan kuat tahun 355 SM di sebuah pulau di Selat Gibraltar. Atau legenda tentang Kota Helike yang dihancurkan oleh kemurkaan Dewa Poseidon pada tahun 373 SM.

Menemukan Kota Pamatan, memang tak semudah menelusuri catatan Marco Polo tentang Xanadu, istana Kubilai Khan yang dua kali lebih besar dari Gedung Putih, terbuat dari marmer yang dikelilingi taman seluas 26 kilometer persegi.

Pamatan bukan hanya sebuah cerita. Didukung data historis dari ‘daun palem’ (sebutan tim peneliti Barat tentang catatan beraksara Jawa Kuno di daun lontar Babad Lombok), tak ada keraguan bagi para ilmuwan untuk menelusuri jejak yang hilang akibat malapetaka vulkanik Gunung Samalas, setelah kerja keras lebih dari tiga dasawarsa.

Termotivasi penemuan peradaban kuno yang tertimbun muntahan Tambora pada 1815, dari laporan Haraldur Sigurdsson, ahli vulkanologi di Graduate School of Oceanography Universitas Rhode Island, di Narragansett di tahun 2006, membangun optimisme tim Franck Lavigne. Bahwa Pamatan adalah Pompeii dari Timur itu. Pamatan kota yang masyhur, berbudaya, dan bermartabat, menunggu untuk ditemukan kembali. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait