SEPASANG bola mata Alfred Russel Wallace menatap takjub dua buah senapan yang terpajang di kediaman Gusti Gadioca (Wallace menulisnya demikian, untuk menyebut Gusti Gede Oka, seorang keluarga pembesar penguasa Lombok). Kedua senjata api itu berbeda panjang satu sama lain. Senapan yang satu memiliki panjang sekitar enam kaki atau dua meter, satunya lagi tujuh kaki.
“Larasnya diselesaikan dengan baik, meski tidak sebagus buatan kita. Hiasan emas dan perak melapisi senjata itu,” tulis Wallace dalam buku ‘The Malay Archipelago’ yang berisikan petualangannya selama 8 tahun di Nusantara (1854-1862).
Penjelajah, antropolog, ahli geografi, dan biologi dari Inggris itu, saat datang ke Lombok di tahun 1856, tak pernah membayangkan, di bumi dengan penduduk primitif yang disebutnya ‘The aborigines of Lombock are termed Sassaks’, memiliki kemampuan memproduksi senjata pembunuh modern seperti di Eropa. Gusti Gadioca mengakhiri rasa penasaran Wallace, ketika ia membawa pemikir evolusi abad ke-19 itu ke sebuah bengkel pengecor logam tempat khusus membuat bedil.
Mata Wallace semakin membelalak saat menyaksikan seksama proses pembuatan senjata oleh dua pemuda Sasak. Dua silinder bambu dengan piston digerakkan dengan tangan yang cekatan. Putaran piston berfungsi sebagai katup, menghasilkan ledakan. Kedua silinder bersinergi dengan nosel, satu piston naik sementara yang lainnya turun. Sepotong besi berongga di tanah adalah landasannya. Benar-benar peralatan dan cara kerja yang purba.
Di benak Wallace, dengan peralatan sangat tradional itu, seorang pandai besi di Inggris tak akan mampu menyelesaikan walau hanya sepasang tapal atau ladam kuda.
“Saya sangat ingin tahu bagaimana mereka membuat laras yang panjang ini, yang terlihat sempurna dan sangat bagus;” ucap Wallace.
“Kami menggunakan keranjang penuh batu,” jawab Gusti, membuat pria Inggris itu terperangah.
Selusin anak laki-laki dikerahkan untuk mengambil keranjang berikut batu-batu. Keranjang bambu berisi batu, sebagai pemberat, diletakkan tegak lurus pada tiang setinggi tiga kaki, diikat menggunakan rotan. Bagian bawah tiang terpasang mata bor, dimulai dari ukuran kecil. Saat tiang diputar dua orang pekerja, sedikit demi sedikit melubangi material laras dari cairan logam yang telah mengeras yang dikubur di tanah. Pembuatan laras menggunakan logam sepanjang 18 inci itu, menghabiskan waktu tiga hari.
Keraguan Wallace beralasan, lantaran ia tak pernah mengetahui bahwa masyarakat yang mendiami Pulau Lombok sudah mengenal senjata api lima atau enam abad sebelum ilmuwan Ingris itu berkunjung.
Suku Bangsa Arab yang datang ke Lombok, jauh sebelum Negeri Pamatan terbentuk, boleh jadi adalah pendatang yang pertama kali memperkenalkan senjata berbahan peledak bernama bedil.
Sejarah menuturkan, setelah Cina menemukan bubuk hitam mesiu pada abad ke-9, bahan ini kemudian dikirim ke Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Sejak itulah berbagai varian senjata api bermunculan, dimulai terciptanya tombak api di China pada abad ke-10.. Setelah daya ledak dimaksimalkan, tabung yang semula dari bambu diganti logam, dan disumbat proyektil, maka inovasi senjata api terus berevolusi.
Dalam Teori Arabia yang didukung Crawfurd dan para tokoh Islam Indonesia, antara lain H Agus Salim Zainal Arifin Abbas, dan Hamka, menyatakan bahwa Islam dibawa langsung ke Nusantara oleh para pedagang Arabia melalui Cina atau lebih dikenal Jalur Sutra, melewati jalur darat pada abad ke-7.
Saat rezim Umayah dan Abasiyah menjadikan kalangan sayid alawiyin sebagai target pembunuhan karena dikhawatirkan menjadi ancaman politik, mendorong orang-orang Arab Hadramaut, atau lebih dikenal Hadrami, meninggalkan negeri mereka. Karena terus dikejar dan diintimidasi, mereka hijrah ke berbagai belahan negeri. Mereka, kaum Hadrami, keturunan Nabi Muhammad melalui Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, bermigrasi hingga ke Lombok. Ini dibuktikan dengan adanya makam di Batu Layar, Lombok Barat, yang diyakini berkait dengan nama Sayid Duhri Al Haddad Al Hadrami, seorang tokoh ulama penyebar Islam pertama di Pulau Lombok.
Perdagangan Arab Islam dengan Tiongkok telah ramai sejak abad ke-7. Fase selanjutnya, pada abad ke-9 tidak ada kapal bangsa asing lain yang melayari perairan Nusantara selain bangsa Islam. Dari aktifitas perniagaan kedua bangsa ini, masuk akal jika barter antar komoditas dilakukan, termasuk bubuk mesiu.
Kerajaan Pamatan adalah negeri yang nyaris sempurna pada jamannya, negeri gemilang leluhur Bangsa Sasak yang kaya-raya, dilindungi pasukan yang kuat. Memiliki persenjataan yang lengkap, mulai dari senjata tempur tradisional hingga perangkat pembunuh mutakhir berhulu ledak. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)