Mereka barangkali tak pernah mendengar kisah tentang Cornelia Noni Ampenan. Seorang noni cantik yang tergila-gila pada pemuda Lombok, setahun sebelum masa pendudukan Jepang. Kisah cinta yang tak tertulis, padahal tak kalah romantis dan dramatis dengan Romeo dan Juliet atau Rose dan Jack di film Titanic.
Ellen Halfers namanya. Ia lahir di Distrik Graswinkel di Weert, Provinsi Limburg, Belanda, 28 tahun yang lalu. Ia menyelesaikan pendidikan di Universitas Ilmu Terapan Avans, Den Bosch, mengambil jurusan Bantuan Pedagogis Sosial. Untuk keperluan studinya, di tahun 2013 Ellen berkesempatan mengikuti program magang di Lombok, di sekolah khusus pendidikan dasar dengan kelompok sasaran anak-anak yang memiliki keterbatasan.
Gadis jelita itu sama sekali tidak pernah ke Asia. Di Lombok ia menemukan sesuatu keadaan yang sangat berbeda dengan negerinya. Jauh panggang dari api. Sebagaimana diungkapkan ibunya, Yvonne Dirckx ketika pertama kali datang ke Lombok. “Saya sangat terkejut oleh kemiskinan,” ucapnya.
Tetapi cinta tak peduli keadaan yang membuat Yvonne miris. Ia sama sekali tak menyadari, putrinya mengikuti alur perjalanan takdirnya. Dara berambut pirang itu menemukan cintanya di Lombok, tak lama setelah berkenalan dengan Prema, seorang pemuda kelahiran Mataram. “Tapi dia jatuh cinta dengan sangat cepat,” kata Yvonne. Wanita ini mengetahui anaknya tetap berkomunikasi dengan Prema di Lombok, walaupun ia telah kembali ke Belanda.
Ellen magang selama enam bulan di Lombok. Ia mengaku belum cinta pada pertemuan awal. Prema pemuda pemalu dan nyaris tak bisa berbahasa Inggris. “Tetapi penampilan dan gayanya menarik bagi saya. Dalam enam bulan itu, cinta berkembang dan kami memutuskan untuk tetap bersama dan mengalahkan jarak,” tulis Ellen Halfers di blognya.
Kisah cinta gadis Belanda itu berujung happy ending. Si noni menikah di Mataram pada 2015 lalu. Ia tak ingin kehilangan pemuda kelahiran Lombok yang membuatnya tergila-gila. Pernikahannya sepi publikasi lokal. Tapi kisah cinta dua manusia berbeda benua itu dimuat menjadi bahan cerita eksklusif di media-media ternama di Eropa. Dua di antaranya Telegraaf dan Majalah Weert.
Sambil menyeruput kopi saya merenung, cinta sejati itu tetap ada. Cinta yang bukan berlatar materi, kasta, atau kedudukan. Cinta yang tak mengenal keadaan, ruang, dan waktu. Berapa Cornelia lagi yang akan jatuh cinta pada pemuda Sasak?
Kembali saya mengenang wajah itu. Wajah cantik dara itu, Cornelia de Ampenan. Sayang saya bukan Ahmad. Tetapi saya kagum padanya.
Dan saya bangga punya ibu seorang wanita Ampenan. Seorang gadis yang membuat ayah saya tak kembali lagi ke tanah Sumatera. Jatuh cinta pada pandangan pertama di Kampung Melayu Bangsal di awal tahun 1960an. Ampenan akan selalu memikat. Saya harus akui, Ampenan itu keren. Badaq iye, Hep! (Buyung Sutan Muhlis)