(AL IQRO’ Ampenan, 6_9_21) Suatu kesatuan dengan nama identitas tertentu, jelas merujuk pada keseluruhan kesatuan entitas tersebut. Bukan sebagian besar atau separuh atau sebagian kecil dari kesatuan itu.
Dr. Dewa Wijaya seorang pemerhati sosial budaya berdarah asli Bali memfokuskan pembahasanya kali ini, pada fenomena munculnya beberapa aliran keyakinan spiritual yang mendadak menggunakan nama serupa atau mirip dengan agama yang syah yang telah diakui oleh Negara.
“Beberapa aliran keyakinan spiritual belakangan banyak bermunculan. Menggunakan nama yang mirip dengan agama syah yang sudah ada dan diakui Negara, padahal keyakinan yang mereka anut berbeda secara fundamental atau secara mendasar dengan agama yang ada tersebut,” ungkap Dr. Dewa Wijaya dalam satu kesempatan diskusi melalui sambungan telepon, Sabtu (5_9_21).
Ia mencontohkan kemunculan aliran keyakinan spiritual yang disebutnya masuk beberapa tahun lalu di wilayah Pulau Dewata Bali. Aliran tersebut mirip dengan Agama Hindu namun berbeda secara fundamental dalam beberapa aspek penting dari sisi dasar keagamaan.
“Ada suatu yayasan yang membawa aliran mirip Hindu, namun sangat berbeda secara mendasar karena memiliki keyakinan tujuan penyembahan atau Tuhan yang tidak sama dengan Hindu. Dasar kitab yang digunakan juga tidak selengkap Hindu. Jadi menurut saya pada dasarnya aliran tersebut bukan Hindu,” sebut Dewa yang telah berpengalaman cukup lama menangani sejumlah wilayah teretorial, di sebagian besar wilayah NKRI selama puluhan tahun berkiprah sebagai Prajurit POLRI.
Menurutnya, perbedaan yang signifikan dalam ajaran suatu aliran yang menggunakan nama serupa dengan agama yang sudah ada, berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Karena perbedaan identitas harus dilengkapi dengan nama yang berbeda pula.
“Rasanya sangat tidak etis jika ada suatu entitas yang beranggotakan beberapa gelintir orang, yang memeluk keyakinan spiritual dengan landasan keyakinan yang berbeda dengan agama tertentu, lantas menggunakan nama serupa dengan agama tersebut. Sangat tidak etis dan berpotensi menimbulkan keresahan bahkan konflik di tengah masyarakat,” ungkap Dewa yang dikenal cukup berprestasi dalam penanganan konflik selama bertugas di lapangan.
“Meski kebebasan untuk berkeyakinan memang dijamin oleh negara secara hukum, sebagai hak pribadi masing-masing orang. Namun juga tentunya menjadi kewajiban bagi setiap individu di negara hukum yang beretika adat ketimuran ini, untuk menjaga ketertiban dan keamanan bersama dari potensi konflik yang mungkin muncul akibat egoisme individual tersebut,” jelas Dewa Wijaya dengan kalimat tegas yang terlontar dari mulutnya dengan intonasi suara agak lantang.
Penyandang gelar Doktor Cum Laude dalam ilmu hukum dari Universitas Negeri Mataram di Lombok, NTB tersebut, menilai bahwa hukum dan aturan perundang-undangan hadir dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dalam suatu negara. Adalah untuk menjadi acuan baku yang hakikat keberadaanya adalah untuk menjaga dan memelihara kemanan dan ketertiban, serta menjamin terwujudnya rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan sebaliknya malah dijadikan tameng untuk melindungi beberapa gelintir orang yang mungkin memiliki niatan berbeda dengan tujuan luhur pembentukan dasar hukum di negara ini.
“Saya menyarankan agar penganut aliran itu mengganti nama yang mereka sandang, atas aliran yang mereka anut. Jangan menggunakan nama yang sama atau mirip dengan agama yang sudah ada. Karena ego individu untuk tetap mempertahankan nama yang mirip itu, berpotensi menimbulkan masalah” papar Dewa.
“Contoh analogi sederhananya, jika ada mobil yang dimodifikasi menjadi kendaraan bermesin dengan roda dua atau roda tiga, dengan kapasitas daya tampung lebih sedikit dan kompleksitas kelengkapan pendukung kendaraan yang lebih sederhana, tidak mungkin tetap dinamai atau disebut mobil. Ya kan?,..” tutup Dewa Wijaya mencontohkan kondisi yang terjadi belakangan, yang beberapa waktu terakhir menyeruak hingga ke tingkat pemerintah pusat tersebut. (red)





