(AL IQRO Ampenan 14_10_21) Perubahan pola hidup manusia belakangan terjadi begitu pesat. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Dampak yang paling terlihat nyata adalah bergesernya cermian adab dalam interaksi sesama manusia.
Dr. Dewa Wijaya, pemerhati sosial budaya berlatar pendidikan filsuf hukum ini menilai, perubahan pola interaksi antar manusia paling besar dipengaruhi oleh terkikisnya pemahaman tentang ilmu adab. Ilmu yang dinilainya sebagai pemahaman yang paling berpengaruh pada kualitas diri manusia secara hakikat.
“Adab adalah ujung tertinggi dari implementasi ilmu pengetahuan yang bisa dicerna indra manusia,” ungkap Dr. Dewa mengawali kalimatnya melalui sambungan telepon, Rabu 13_10_21.
“Kental atau tidaknya pemahaman adab seseorang akan mudah terlihat dari kelakuanya sehari-hari. Satu diantaranya tercermin dari cara orang menilai kepantasanya sendiri dalam meminta pertolongan,” ungkap Doktor yang masih juga aktif sebagai prajurit Polri tersebut.
Menurutnya meminta pertolongan bukan menjadi hak asasi manusia. Karena faktor kepantasan sangat berpengaruh pada layak atau tidaknya seseorang untuk meminta pertolongan dari orang lain.
“Permintaaan bantuan itu lazimnya diajukan oleh orang yang tidak mampu dalam suatu hal, kepada orang yang lebih mampu. Namun ada aturan mainnya. Ada ukuran kepatutan dan kelayakan yang menjadi batasan etika dalam hubungan permintaan tolong itu,” papar Dewa yang juga dikenal aktif berorganisasi secara resmi di luar instansi Polri tersebut.
Menurutnya banyak sekali pihak yang tidak memahami konsep dasar dari hubungan tolong-menolong. Bahkan ada yang sampai seperti menganggap bahwa diberi pertolongan menjadi hak asasi yang hukumnya wajib dipenuhi, oleh siapapun yang menurutnya bisa memberi bantuan, dilandaskan pada standart pikirannya sendiri.
“Contohnya sekarang sering kita dengar orang yang menjadikan diri berprofesi sebagai peminta-minta, dan saat beroperasi mereka sering berindak tidak wajar jika tak dipenuhi permintaanya,” ungkap Dewa memberi contoh.
“Contoh lain banyak juga orang yang merasa kepentinganya adalah yang paling utama dibanding orang lain, sehingga saat kepentinganya tak bisa terwujud oleh kemampuanya sendiri, menjadi kewajiban bagi orang lain untuk mewujudkannya. Tanpa peduli apakah dirinya layak menerima bantuan dari orang lain itu,” sambung pria yang dikenal cukup beringas dilapangan, saat masih bertugas selaku personil reskrim di lingkup ibu kota dan dikenal dengan panggilan AKP Dewa Wijaya itu.
Dewa menekankan bahwa hubungan tolong-menolong memang merupakan bentuk kewajiban, bagi siapapun yang berkemampuan memberi pertolongan kepada yang membutuhkan, dalam konteks hubungan sosial kemanusiaan. Namun memberi bantuan yang tidak dilandaskan pada ukuran-ukuran kelayakan dan kepatutan, malah akan menjerumuskan mental pihak penerima bantuan menjadi orang yang bermental tidak terpuji.
“Jika tidak terukur, memberi bantuan pada yang tidak tepat malah akan merusak mental pihak penerima bantuan. Terbiasa dibantu, sering membuat orang jadi pemalas, tidak punya daya juang, tidak tahu diri dan yang paling parah egonya akan menjadi tumbuh subur. Terus merasa kepentinganya sendirilah yang utama, lalu tanpa sengaja memaksa orang lain ikut berjuang untuk mewujudkan kepentingan itu dan melupakan kewajibannya sendiri untuk menghargai pertolongan dari orang lain tersebut,” tutup Dewa mengakhiri percakapanya. (red)





