(AL IQRO’ Ampenan, 20_9_21) Perkembangan teknologi informasi beberapa tahun terakhir, memberi kemudahan bagi siapa saja untuk mengakses informasi yang hampir tak terbatas. Gawai pintar membuat siapa saja bisa mencari jawaban dari banyak permasalahan dalam hitungan detik. Kondisi ini seharusnya sangat baik bagi perkembangan kualitas keilmuan umat manusia. Dan sudah selayaknya perkembangan kualitas pengetahuan juga akan meningkatkan kualitas mental manusia secara umum.
“Peningkatan kualitas pengetahuan seseorang, seharusnya meningkatkan kualitas mentalnya juga. Karena seharusnya kualitas mental berbanding lurus dengan tingkat keilmuan seseorang,” ungkap Dr. Dewa Wijaya, seorang pemerhati sosial budaya berlatar praktisi filsuf hukum berdarah Bali ini.
“Tentu selanjutnya kualitas ilmu dan mental manusia itu berkaitan erat dengan kualitas adabnya. dan yang paling ujung dari hubungan antara ilmu, mental dan adab adalah terwujudnya kebahagiaan dan ketenangan jiwa bagi manusia itu sendiri,” sambung Dewa yang juga masih tercatat berdinas di Mabes Polri tersebut.
Menurut Dewa, orang dengan tingkat keilmuan tinggi dan mentalitas serta adab yang baik, akan tercermin jelas dari kehidupan keseharianya. Sebagian besar orang yang berinteraksi denganya, dengan mudah bisa melihat dan menilai kualitas adab orang tersebut.
“Namun belakangan banyak kita lihat orang yang cenderung membuat penilaian atas dirinya sendiri. Banyak yang menilai dirinya sudah baik, banyak yang menilai dirinya sudah benar, banyak yang menilai dirinya paling pintar, yang entah dilakukanya secara sadar ataupun tidak.” jelas Dewa melanjutkan kalimatnya.
Menurut Prajurit Polri berpangkat melati dua ini, ukuran paling mendasar dari kualitas manusia adalah keselarasan dan kesamaan antara perkataan dan perbuatannya yang nyata. Bukan dari apa yang sengaja ditampilkan dan tampak terlihat secara sekilas oleh orang lain.
“Saat bicara atau pidato atau unggahan di medsos, banyak orang yang sering membicarakan kebenaran, menyuarakan kejujuran, mengunggah kebaikan. Namun dikeseharianya jauh berbeda dengan itu. Dan orang seperti itu biasanya anti terhadap kritik, karena dengan sadar atau tidak sudah menjadikan penilainnya sendiri yang paling utama untuk dirinya,” papar pria yang dulu dikenal dengan panggilan AKP Dewa Wijaya sewaktu menjabat selaku Kasat Reskrim Polres Bandara Soeta itu.
Bukan tanpa akibat, biasanya orang yang sudah menjadikan penilaiannya sendiri sebagai barometer utamanya, akan hidup dalam kondisi serba kesulitan dan jauh dari ketenangan. Walaupun mereka akan terlihat sangat mampu untuk menyembunyikan permasalahan kebhatinannya tersebut.
“Kita tinggal ukur sendiri sekarang, apakah hidup yang kita jalani sudah berada dalam lingkup ketenangan dan kebahagiaan. Dan pertanyaan ini tak perlu dijawab, cukup direnungkan di dalam hati masing-masing. Semoga Tuhan YME memberikan kesempatan pada hati kita semua, untuk bisa jujur pada dirinya sendiri. Amin…,” tutup pria yang diketahui juga banyak berguru ilmu kebhatinan pada beberapa literatur keyakinan itu. (red)





