(AL IQRO’ Mataram) Ia tak hadir di ruangan itu, mengingat kondisi yang masih belum memungkinkannya untuk bepergian jauh. Sepekan lalu kesehatannya terganggu.
Melalui teleconference yang berlangsung selama kurang dari satu jam, I Dewa Nyoman Agung Dharma Wijaya, akhirnya mampu melewati satu bagian terpenting dalam rangkaian akademik studinya di Program Studi Doktor Ilmu Hukum di Universitas Mataram (Unram). Pagi itu, Rabu (23/12/2020), Ame, demikian nama panggilannya di keluarga, berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan sembilan anggota majelis penguji.
Ujian terbuka itu berlangsung di ruang sidang di lantai tiga Gedung A Fakultas Hukum Unram, dilaksanakan dengan penerapan prosedur protokol covid yang tergolong ketat. “Saya minta agar memperhatikan waktu, karena sesuai protokol kesehatan, di ruangan tertutup kita tidak boleh melebihi durasi 50 menit,” tegas Ketua Majelis Penguji yang juga Rektor Unram, Prof. Dr. Lalu Husni SH, M.Hum, dari balik maskernya.
Kesembilan anggota sidang yang menguji disertasi promovendus, masing-masing Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH, M.Hum, Prof. Dr. H. Gatot Dwi Hendro, SH, M.Hum, Prof. Dr. Amiruddin, SH, M.Hum, Dr. Widodo Dwi Putro, SH, M.Hum, Prof. Dr. Nyoman Nurjaya, SH, MH, sebagai penguji tamu dari Universitas Brawijaya, Prof. Dr. HM. Galang Asmara, SH, M.Hum, Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH, MH, Dr. Muhammad Sood, SH, MH, Dr. Rt. Cahyowati, SH, MH.
Dari layar monitor di depan ruangan, Ame yang berada di kediamannya di Jakarta, selama sekitar 20 menit memaparkan poin-poin dalam disertasinya yang berjudul Penegakan Hukum Sempadan Pantai bagi Ruang Publik. Wajahnya masih nampak lesu, namun tak mengurangi daya kritisnya terutama ketika menjawab berbagai pertanyaan, masukan, dan saran dari para penguji.
Disertasi tersebut hasil penelitiannya di Senggigi, Lombok Barat, dan Moyo, Sumbawa, sebagai obyek studi. Dia menemukan penerapan hukum yang tidak bekerja efektif dalam mengatur dan melindungi sempadan pantai sebagai ruang publik.
Ame mengkritisi tiga komponen dalam sistem hukum yang dicetuskan Lawrence Meir Friedman dalam buku The Legal System: A Social Science Perspective, di tahun 1975. Pemikir, profesor hukum, sejarawan, ahli sejarah hukum Amerika itu, menyebut substansi perundang-undangan, struktur organisasi beserta penegakan hukumnya, dan budaya hukum, adalah faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas bekerjanya hukum. “Friedman terlalu fokus pada tiga komponennya — substansi, struktur, dan kultur – tetapi lupa apakah ada invisible component yang menyebabkan ketiga komponen itu tidak bekerja efektif,” ungkap perwira polisi berpangkat AKBP kelahiran Singaraja ini.
Temuan Ame tersebut mengundang komentar dan pertanyaan para tim penguji. “Ini mesti Anda kembangkan lagi nantinya, yaitu elaborasi teori dari Lawrence Friedman. Dan saya mengharapkan hasil penelitian Anda ini dipublikasikan dalam bentuk buku,” kata Prof. Dr. Nyoman Nurjaya, SH, MH, penguji yang menyampaikan pendapat dan saran-sarannya.
Pertanyaan tajam diajukan Prof. Dr. Prof. Dr. HM. Galang Asmara, SH, M.Hum yang menyoroti kesimpulan Ame dari studi kasus sempadan pantai di obyek-obyek penelitiannya. “Apakah Saudara Promovendus ingin menolak teori dari Lawrence Friedman? Sebab kalau menolak berarti Anda tidak mengakuinya. Dan barangkali pada waktu Lawrence Friedman mengungkapkan itu, tidak ada invisible component terjadi saat itu di tempat dia,” ungkap Galang Asmara.
Menjawab itu, Ame menegaskan bahwa dari hasil riset yang telah dilakukannya bukan dalam pengertian penolakan tentang a legal sistem in actual operation is a complex organism in which structure, subtance, and culture interact dari analisa teoritis Lawrence Friedman. “Saya tidak menolak teori Lawrence Friedman, tapi di sini saya menyempurnakan, menambah komponen kapital sebagai invisible component,” ujar Ame.
Sebuah pujian dilontarkan Dr. Widodo Dwi Putro, SH, M.Hum, yang memberikan komentar melalui teleconfence, berhubung sedang berada di luar kota. “Kalau Lawrence Friedman membaca jurnal ilmiah Anda yang mengkritik teorinya, saya kira dia yang sekarang usia 90 tahun, justru akan berbangga. Bahwa ada seorang anggota polisi, bukan dari latar belakang akademisi, yang secara meyakinkan mengkritik pemikirannya tentang legal system,” ucapnya.
Menurut Widodo, terminologi invisible component temuan Ame, signifikasinya justru lebih besar dibanding tiga komponen yang dikemukakan pemikir di akhir abad 20 itu. “Pertanyaan saya, mengapa invisible component menyebabkan ketiga komponen Lawrence Friedman tidak bekerja? Mohon dijelaskan dan sebutkan salah satu contoh,” kata Widodo.
Lelaki yang berulang tahun ke 46 pada 18 Desember pekan lalu itu, menjawab pertanyaan penguji sekaligus ko-promotornya itu, dengan satu definisinya tentang invisible component. Inilah suatu keadaan atau obyek yang tidak bisa dilihat secara kasat mata, tetapi dirasakan akibatnya. “Invisible component dikendalikan sebagai bentuk tertinggi dari kamuflase,” ungkap putra bungsu pejuang bergelar Barak Terunajaya dari Bongancina, Buleleng ini.
Ame mencontohkan tentang Amanwana Resort yang memiliki hak eksklusif di lahan seluas 50 hektar di destinasi Pulau Moyo, Sumbawa. Hak mengelola itu selama 30 tahun, sejak 1994 dan berakhir 2024 mendatang. Dalam disertasinya, ia memberi tanda kutip pada hak eksklusif yang disebutkannya. “Para pelanggarnya adalah para pemodal yang memiliki relasi dengan kekuatan politik dengan pemerintah yang pernah berkuasa,” paparnya.
Amanwana Resort memiliki saham 75 persen. Sedangkan sisanya yang 25 persen dimiliki seorang menteri di jaman orde baru. “Ada 50 persen dari lahan yang dikelola itu adalah kawasan konservasi,” lanjut Ame.
Saat Ame melakukan penelitian di Pulau Moyo, kesan pertama yang terlihat, perusahaan pengelola melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan perihal konservasi. “Dari luar nampak tenda-tenda. Tapi, faktanya, setelah kita bermalam di sana, ternyata banyak bangunan permanen berdiri,” ungkap Ame yang menyebut pendirian bangunan permanen adalah bentuk pelanggaran terhadap undang-undang tentang konservasi.
Pelanggaran lainnya, Amanwana Resort memiliki dermaga sendiri. “Ini melanggar ketentuan karena itu termasuk tindakan merusak konservasi alam, dan perijinan pembangunan pelabuhan yang seharusnya diterbitkan dengan pelibatan instansi Hubla” sambungnya.
Penuturan Ame salah satu contoh hak-hak istimewa yang dimiliki korporasi pariwisata terkait invisible component. “Dalam hal ini kapital dan networking, serta hubungan dengan pemerintah,” katanya.
Lalu apa rekomendasi perwira polisi yang pernah bertugas di operasi darat, laut, dan udara ini? “Pertama, mendorong terbentuknya Rencana Detail Tata Ruang (RTDR) di seluruh provinsi di Indonesia. Ke dua, mengubah ruang publik dari posisi sebagai 
public space menjadi public sphere. Sehingga penegakan hukum tentang sepadan pantai bisa seperti rumah kaca yang mudah dimonitor seluruh masyarakat,” tandasnya.
Hari itu sekaligus yudisium Ame yang tercatat sebagai doktor ke-23 program studi S3 Fakultas Hukum Unram. Tim penguji mengumumkan ayah tiga anak itu meraih IPK 3,9, sehingga ia dinyatakan berhak menyandang predikat cumlaude.
Dari layar monitor, nampak senyum terkembang seorang wanita cantik yang muncul menjelang acara berakhir. Dialah Ni Nyoman Suandewi, istri Ame, yang sedari awal mendampingi sang suami. (BSM)
 
											





