Dewa Wijaya: Fanatik SARA itu Harus

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
Dewa Wijaya (tengah baju hitam) saat bersama Menkumham Yassona Laoli di Jakarta

(AL IQRO’ Ampenan) Budaya adat masyarakat ketimuran sangat familiar dengan fanatisme kesukuan, agama dan ras. Tidak mungkin muncul secara natural, budaya fanatik SARA itu menjadi bagian keseharian masyarakat karena diajarkan secara turun-temurun oleh para leluhur. Pengamat sosial budaya Dr. Dewa Wijaya menyebutkan bahwa jiwa fanatik SARA ini kerap dimaknai negatif oleh banyak pihak. Padahal Dewa sangat meyakini bahwa kecil kemungkinan kebijaksanaan para leluhur itu tidak bertujuan baik dan luhur.

“Kita diajarkan untuk fanatik (terhadap SARA, red.) itu pasti tujuanya baik. Tata caranya tentunya juga ada, tidak sembarang fanatik. Karena waktu itu meski banyak yang fanatik, hampir tak pernah kita dengar terjadi konflik yang menghawatirkan, yang berakar dari permasalahan SARA,” ungkap Dr. Dewa Wijaya sembari menyusun perlahan ingatanya tentang sejarah para leluhur bangsa.

Diibaratkanya seperti narkoba, faham fanatisme sering dinilai sebagai hal yang sangat negatif akibat kerap disalah gunakan atau disalah artikan pengertianya. Menurut pria bersuku Bali ini, dalam konteks tertentu fanatik terhadap SARA ini mutlak harus dikedepankan, mirip seperti keharusan penggunaan morfin di meja operasi dokter bedah.

“Dalam perkawinan misalnya, orang tua kita dulu hampir mewajibkan anak-anaknya untuk menikah satu suku dan agama. Bahkan banyak yang mewajibkan pernikahan boleh terjadi hanya dalam internal keluarga. Menurut saya dalam sudut pandang kemudahan kehidupan kedepan bagi para pengantin baru, fanatisme ini sangat baik,” kata ayah yang memiliki 3 putra putri ini.

Ia menjelaskan bahwa fanatisme SARA dalam pernikahan menjadi perlu diutamakan, karena akan sangat memberi kemudahan bagi pasangan yang baru meniti bahtera kehidupan barunya. Kedua pasangan akan bisa lebih fokus membangun rumah tangga, tanpa harus berjibaku keras untuk masuk dan bisa diterima dalam lingkungan keluarga pasanganya masing-masing.

“Kalau kedua mempelai adalah keluarga, cenderung tidak perlu menyesuaikan diri dengan keluarga masing-masing pasanganya. Karena pasti sudah saling mengenal. Proses saling mengenal dan penyesuaian diri dengan kebiasaan dan istiadat keluarga pasangan ini, akan membutuhkan waktu dan banyak energi jika belum saling mengenal sebelumnya,” ungkap anggota Polri yang saat menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Bandara Soeta ini dikenal dengan panggilan AKP Dewa Wijaya.

Terlebih jika terjadi pernikahan lintas suku dan ras yang biasanya juga berbeda agama. Maka proses penyesuaian akan membutuhkan waktu dan energi yang banyak. Proses pembelajaran adat kebiasaan antar keluarga pasangan akan menjadi sulit dan berat. Sementara diketahui bahwa pada awal masa pernikahan, sangat banyak hal lain yang juga membutuhkan energi kerja keras kedua pasangan untuk meraihnya. Seperti diantaranya kemapanan secara ekonomi dan sebagainya.

“Banyangkan saja, sebagian besar dari kita tidak pernah berganti keyakinan dari sejak lahir. Itupun masih sangat banyak pengetahuan dan tata cara hidup beragama yang belum sempurna kita mengerti dan kita jalankan. Apalagi bagi yang berubah keyakinan ditengah jalan, pasti akan lebih sulit lagi untuk fasih beragamanya. Apalagi bagi yang berasal dari kebangsaan, suku dan ras yang sangat berbeda dengan kita, waaahhh… pasti akan sangat berat dan butuh perjuangan keras sekali,” kata Dewa menyambung penjelasnya.

Bukan berarti tidak mungkin, penyesuaian diri juga tidak jarang berhasil dilakukan. Namun tentunya membutuhkan pengorbanan dan kerja keras yang tidak mudah pula.

“Banyak juga yang berhasil, namun mencapainya tentu tidak mudah, perlu banyak pengorbanan,” lanjutnya.

Disisi lain, fanatik terhadap suku, agama dan ras juga sangat penting untuk menjaga kebanggaan terhadap identitas jati diri suatu kaum. Bukan dalam konteks memperbandingkan diri satu sama lain.

“Bukan dalam konteks membanding-bandingkan suku atau ras mana yang lebih baik atau lebih hebat. Namun lebih kepada fungsi memupuk kebanggaan terhadap jati diri. Karena bangsa yang besar adalah yang mengerti dan memegang teguh jati dirinya. Sembari tetap dengan rendah hati mau mengenal dan mempelajari suku ras yang lain, untuk memperkaya wawasan diri. Sifat (fanatik SARA, red.) ini bernuansa internal dalam diri bukan untuk di gembar-gemborkan.” pungkas pria peraih gelar Doktor Cum Laude dalam bidang ilmu hukum itu. (red)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait