Kembali ke Dapur Ibu (Bagian 02)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Ada ribuan resep memasak yang dapat diperoleh dengan mudah di jaman secanggih sekarang. Tinggal buka Youtube atau website tempat segala resep menu hidangan dipublis. Tanpa bekal kepandaian memasak pun setiap orang dapat berkreasi di dapur. Rahasia kesedapan masakan ada dalam sebuah gadget. Tinggal searching, tinggal pilih mana menu yang diinginkan.

Tetapi, teknologi informasi tidak disertai ketersediaan bahan-bahan yang bisa didapatkan secara praktis. Pasca kemunculan mie instan, belum ada produk kompetitor yang menyainginya. Paket yang tersedia dalam satu kemasan, dengan takaran yang sudah ditentukan. Tinggal dimasak atau diseduh saja, dalam beberapa menit siap disantap.

Seseorang yang mengusai sejumlah resep masakan, belum tentu bisa merealisasikan sebuah menu eksklusif dalam tempo cepat. Mesti ke pasar dulu, minimal satu jam berkeliling untuk mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan. Sering terjadi ada beberapa bahan yang kebetulan limit stok atau bahkan tak tersedia sama sekali. Pada akhirnya, keinginan menikmati sajian tertentu gagal terpenuhi di hari itu. Tak heran banyak suami yang terpaksa bersabar menahan selera lantaran istrinya belum memperoleh seluruh bahan. Di sinilah bukti uang tak menjamin segalanya. Bisa saja para istri tidak ada masalah dengan anggaran dapur. Tetapi hal-hal kecil semacam tadi sering menjadi pemicu keributan. Sekurangnya suami-suami menggerutu dalam hati. Ketika bahan-bahan masakan telah lengkap, belum tentu selera itu menggebu seperti hari sebelumnya. Masakan terhidang, tetapi sang suami telah kehilangan keinginan.

Persoalan lainnya menyangkut takaran dalam sebuah menu. Ketika seorang ibu memasak suatu hidangan, bahan-bahan selalu lebih dari porsi yang sesungguhnya. Umpama saja saat memasak tumis kangkung untuk konsumsi dua orang. Dalam resep, dibutuhkan 200 gram kangkung. Tetapi, di pasar atau pedagang keliling kangkung tak dijual dalam hitungan berat. Sayuran ini dijual dalam bentuk ikatan. Akibatnya, porsi masakan menjadi lebih, atau kalau pun dipaksa pas akan ada beberapa batang kangkung yang terbuang. Ketika dimasak lebih pun belum tentu dapat dihabiskan dalam sekali makan. Kelebihan makanan ini biasanya terbuang sia-sia. Betapa mubazirnya. Dan hampir setiap hari akan selalu bersisa, menjadi limbah rumahtangga yang belum terpecahkan solusinya.

Peradaban semakin modern. Lingkungan semakin tertata. Rumah-rumah memiliki fasilitas memadai. Tetapi urusan di dalam dapur belum kelar-kelar. Masih ribet, inefisiensi, dan sejumlah persoalan lainnya. Bicara kuliner, adalah perkara yang gampang-gampang susah. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait