Sesiang ini, di luar begitu hening. Siang bolong berubah seperti suasana dini hari. Bagaimana pula di malam hari? Kesunyian bahkan lebih mencekam daripada kuburan paling angker.
Hantu corona sudah bergentayangan hingga pelosok bumi yang paling terpencil. Orang sedunia menggigil. Makhluk tak kasat mata itu lebih menakutkan dibanding dedemit, bahkan teror bom bunuh diri sekali pun.
Hari ini saya benar-benar lapar. Tapi saya bingung mau memasak apa. Berhari-hari bersembuyi di dalam rumah, mengisolasi diri dari wabah corona, lidah saya sudah berubah menjadi lidah buaya. Lidah yang tak peduli rasa, apa saja ditelan asal kenyang. Kali ini saya tak mau menjadi buaya lagi. Saya ingin memasak sesuatu yang benar-benar nikmat menurut saya, bukan menurut orang.
Terkenang wajah mendiang ibu saya. Perempuan kelahiran Lombok Timur, besar dan bertemu jodoh di Ampenan. Ia menguasai resep sejumlah kuliner lokal. Mulai dari olah-olah, pelecing tongkol, urap-urap, pelalah, pedis-panas, hingga beberapa jenis jajanan.
Betapa saya merindukan masakan-masakan itu. Mulai sarapan, makan siang, hingga makan malam, menu-menu selalu berbeda. Ibu selalu memasaknya dengan begitu nikmat. Hingga sekarang, kelezatan masakan ibu belum ada penandingnya.
Saya di dapur sekarang. Tapi saya bingung. Saya juga lumayan bisa mengolah beberapa kuliner. Saya ingin memasak sesuatu. Tetapi ketika saya mulai mencari-cari bahan untuk membuat sayur asam, ada beberapa yang kurang. Apakah saya mesti menunggu besok untuk pergi ke pasar, hanya untuk beli asam jawa? Apakah saya mesti menahan selera sampai besok hanya untuk menu yang sederhana? Saya menelan ludah. Hidup ternyata tak sederhana walaupun keinginan itu tak berlebihan. Di supermarket terdekat hanya tersedia mie intan. Saya bosan mie instan, saya ingin sayur asam, seperti yang pernah ibu buat.
Saya tinggalkan dapur. Perut saya makin lapar. Saya pacu kendaraan ke warung langganan saya. Warung yang hanya menyediakan menu itu ke itu setiap harinya. Di hadapan saya kini terhidang sepiring nasi campur. Dengan malas saya mulai mengunyah. Saya kehilangan selera. Di benak saya hanya ada semangkuk sayur asam yang begitu menggoda. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)