ADA banyak kisah menarik ketika Datuk Syeikh TGH Ahmad Tretetet berada di kampung halamannya di Lombok Timur. Keseharian sang tokoh sejauh ini lebih banyak diketahui publik saat ia berinteraksi jauh dari lingkungan keluarganya.
Ahmad Tretetet tinggal di Lingkungan Kokok Lauk II, Kelurahan Kelayu Selatan, Selong.
“Tempat tinggal Wak (paman – bahasa Sasak, Lombok) hanya selang satu rumah dengan rumah saya,” kata Muhammad Iqbal, seorang kerabat dekat Ahmad Tretetet ketika dihubungi Al-Iqro di kediamannya di Gubuk Tengak, Kelayu Utara, Selasa (23/06/2020).
Di masa kecilnya, hampir setiap hari Iqbal berkunjung ke sana. Selain anjuran orang tuanya, ia juga merasa sangat dekat dengan Ahmad Tretetet yang menyukai anak-anak. “Bapak saya menyuruh agar saya sering ke rumah Wak, siapa tahu diludahi. Kalau sudah kena ludah beliau, konon anak-anak jadi pintar,” tutur Iqbal.
Tapi, hingga akhir hayat sang wali, Iqbal tak pernah kebagian ludah bertuah yang diharapkan itu. “Justru teman-teman saya yang beruntung mendapatkannya. Padahal saya begitu dekatnya dengan beliau. Saya sering diajak ke mana-mana. Seringkali saya diminta juga memijat kaki beliau sampai ketika saya sudah kuliah di Mataram,” ucap lelaki yang sehari-hari menjalani aktifitas sebagai Kepala Pasar di Kecamatan Terara ini.
Sambil menyuruput kopi yang dihidangkan istrinya, Iqbal mulai berkisah. Ingatannya masih terang. Ia buka lembar-lembar kenangan yang tersimpan di benaknya selama lebih dari separuh abad.
Ahmad Tretetet yang bernama asli Ahmad Badaruddin tinggal bersama TGH Abdullah, adiknya lain ibu. Selain juga sebagai ulama, saudaranya ini memiliki beberapa usaha sampingan.
Di halaman rumah Abdullah memelihara puluhan ekor ayam. Usaha lainnya, ia juga memasarkan tembakau lokal yang dikirim ke luar daerah.
Hampir maghrib ketika itu. Ahmad Tretetet minta dipotongkan ayam untuk lauk makan malam kepada iparnya, Komariah, istri Abdullah. “Tetapi iparnya tidak menanggapi Wak yang kepingin makan ayam. Lagi pula kandang sudah digembok,” tuturnya.
Tidak ada hidangan ayam malam itu. Ahmad Tretetet juga tidak memaksa keinginannya itu. Tetapi, keesokan paginya seisi rumah gempar. Komariah terpekik kaget. Sebanyak 21 ekor ayam miliknya terapung dan mati di dalam sumur. Entah kapan unggas-unggas itu menceburkan diri.
Iqbal merekam semua yang disaksikannya sendiri dalam pikiran bocahnya. Selalu ada kejadian di luar dugaan setiap kehendak sang Datuk tidak terpenuhi.
Suatu ketika Ahmad Tretetet meminta satu tumpi (kemasan tembakau yang telah dirajang dan siap dinikmati dalam bentuk lembaran lebar yang terlipat dan tergulung rapi) tembakau. “Wak kepingin merokok. Tapi H Abdullah tidak berikan karena semua tembakau sudah dalam paket yang siap dikirim. Kenapa juga Wak tidak minta sebelum tembakau dikemas,” ungkap Iqbal.
Malam itu juga, kata Iqbal, terjadi suatu petaka. Sekawanan pencuri mendatangi rumah Abdullah. Saudara sang Datuk terlibat perkelahian sengit dengan para pencuri. Namun malang tak dapat dihindari, “Malam itu tangan H Abdullah nyaris putus ditebas maling,” kenang Iqbal.
Semakin dewasa, Iqbal kian mengerti makna di balik segala peristiwa yang saling terkait, ada sebab dan akibat, yang berhubungan dengan sosok Ahmad Tretetet. Sering ada penilaian dengan satu sudut pandang, atas tingkah atau sepak terjang sang wali yang sering dianggap aneh bahkan tak wajar. Tetapi, belakangan orang-orang disadarkan, tindakan sosok kontroversial itu adalah semacam ujian sejauh mana kesabaran dan keikhlasan setiap umat yang pernah bertemu dengannya. Bahkan orang-orang terdekat sekali pun tak luput dari ujian sang legenda. (Buyung Sutan Muhlis)