SATU undangan datang dari seorang kawan yang tinggal di Lingkungan Pejarakan, Rembige, Ampenan. Ia asli suku Sasak, Lombok, lahir dan besar di Ampenan. Di tempatnya berdomisili mayoritas warganya juga penduduk pribumi.
“Nanti malam datang, Bang. Kita potong kambing di rumah,” undangnya saat kami sedang ngopi di pinggiran jalan di sekitar Pasar Kebon Roek, suatu sore.
Di benak saya, karena yang mengundang warga lokal, menu yang bakal dihidangkan pasti rawon, pelalah (gulai), atau sate kambing versi Ampenan. Ternyata dugaan saya keliru.
Di tempat acara, belasan undangan lain telah lebih dulu hadir. Kami duduk di halaman mengelilingi sebuah meja. Hidangan pertama adalah kopi tubruk yang baru diseduh.
Satu jam kemudian tuan rumah mempersilakan kami pindah ke teras. Beberapa orang wanita mengeluarkan dulang-dulang berukuran besar. Isinya sesuatu yang berwarna putih, mirip mie yang dipotong-potong seukuran sekitar satu inci. Inilah nasi dari varietas beras basmati. Beras aromatik yang dibudidayakan di dataran tinggi yang berasal dari India. Di tengah-tengah butiran nasi ada tumpukan daging kambing goreng yang terasa begitu empuk.
Tuan rumah yang notabene orang Sasak itu menghidangkan nasi kebuli!
Menu berbumbu kapulaga, jinten, adas, dan kayu manis yang asalnya dari Hadramaut, Yaman, ini ternyata telah familiar di komunitas pribumi tak hanya di Pejarakan. Pembauran pendatang dari Timur Tengah yang menetap di Ampenan menjadikan hidangan dengan kegurihan khas ini masuk ke deretan menu-menu andalan di wilayah kota bersejarah ini.
Uniknya, kami menikmati hidangan ala Arabian ini dengan cara begibung, khas tradisi Sasak. Dulang yang berisi makanan dikelilingi empat-lima orang. Bersama menyantap isi nampan, sehingga semua kebagian.
Jika masakan asal Timur Tengah diterima masyarakat lokal, sebagai imbal-balik, hal yang sama mendapat tempat pada komunitas pendatang.
Suatu ketika saya diundang makan seorang kawan yang tinggal di Lingkungan Sukaraja Timur, Ampenan Tengah. Ia sekeluarga warga pendatang dari Timur Tengah. Istrinya menghidang beberapa menu lokal. Salah satunya yang membuat surprise adalah sayur lebui. Lebui adalah sejenis biji kedelai hitam. Sayur berkuah yang dibubuhi kemangi Lombok. Ketika saya mulai mencicipinya, awalnya saya tak percaya sayur bikinan istrinya. Rasanya Sasak banget! Selain itu kemangi Lombok adalah jenis kemangi yang jarang bisa diterima lidah di luar komunitas Suku Sasak, lantaran aroma dan rasanya sangat khas, jauh berbeda dengan kemangi Jawa. Ternyata, keluarga asal Timur Tengah ini telah lama menggemari masakan lokal dan menjadi menu favorit keluarga, beberapa di antaranya bebalung (sejenis rawon dari bahan baku belulang sapi) dan sayur lebui.
Dari dua undangan makan dari dua suku bangsa berbeda itu, saya mengambil kesimpulan, betapa kebhinnekaan di Ampenan tak sekedar semboyan belaka.
Saling menukar menu kuliner dari dari sejumlah suku, bangsa, dan ras, yang mendiami wilayah bekas bandar besar itu telah berlangsung selama berabad-abad. Orang-orang Ampenan telah lama meminati berbagai jenis makanan yang mewakili suatu etnik atau kebudayaaan. Sebut saja bakpao dan bakso yang dibawa pendatang Tionghoa, berbagai jenis kue bolu dari Eropa, atau sejumlah kuliner khas Timur Tengah. Dengan begitu, aneka kuliner dari berbagai suku-bangsa yang ada di Ampenan menunjukkan bukti keberagaman, wujud saling menerima kebudayaan. Sehingga, jangan heran jika ada warga marga Tionghoa berselera pedas ala Sasak, orang Arab suka bakso, bakpao, dan pelecing kangkung, atau orang Sasak menggemari nasi kebuli dan kebab, itu hanya ada di Ampenan.
Jargon kebhinnekaan tak perlu diteriakkan di Ampenan. Di sini, menghargai perbedaan sudah berlangsung sejak dulu kala. Kebhinnekaan boleh dibilang sudah mendarah daging. Setidaknya ditunjukkan dari beragam kuliner yang ada. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)



