(AL IQRO’ Ampenan) – Seorang teman bertanya, apakah saya juga menggunakan De Levensgeschiedenis van W. P. Mamalyga (Malygin) – Rustverstoorder in Nederlandsch-Indië yang ditulis Elizaveta Ivanovna Gnevusheva sebagai salah satu bahan serial tulisan saya ini? Saya jawab dengan balik bertanya, mengapa harus menggunakan referensi yang bukan merupakan bahan data primer? Entahlah bagi para pemuja dokumentasi Leiden, mungkin mengira tulisan itu orijinal dan menjadi rujukan karya siapa pun yang menulis tentang Malygin.
Di artikel yang dimaksud teman itu jelas-jelas W. F. Wertheim menyebut dalam pengantarnya, ia menemui Gnevusheva pada1964 di Moskow dan meminta karyanya dalam jurnal Nistrul, No. 11, 1963, di Kishinw, dalam bahasa Moldova, untuk ia baca dan terjemahkan. Nah, inilah yang saya maksud data primernya, sebab artikel De Levensgeschiedenis van W. P. Mamalyga adalah sebuah terjemahan dalam bahasa Belanda. Tapi, Wertheim sama sekali tak menyebut — atau ia tidak tahu-menahu — sejarawan wanita Rusia itu sudah menulis artikel dengan tema yang hampir sama, yaitu V. P. Malygin – Vozmutitel’ Spokoystviya v Niderlandskoy Indii dalam jurnal Voprosy Istorii No. 12 – M. tahun1959. Itu berarti muncul tujuh tahun sebelum tulisan versi Belanda dimaksud diterbitkan.
Pertanyaannya, mengapa bukan Wertheim dan timnya sendiri yang menulis histori si pembuat onar di Hindia Belanda kalau memang secara internal memiliki kelengkapan data untuk tulisan kesejarahan yang obyektif? Apakah merasa kecut lantaran menyadari bahwa kitab, manuskrif, dan sejumlah bahan pustaka yang ada di negeri mereka kebanyakan karya sebagaimana yang dituding Budayawan Lombok Lalu Agus Faturrahman hanya berupa babad-babad modern?
(Ihwal babad modern ini pernah saya tulis berupa features di sebuah media online di tahun 2017, hasil wawancara dengan Dosen Filologi Universitas Mataram itu) Aroma subyektifitas dan tendensiusnya pers Belanda terhadap kasus yang melibatkan Malygin siapa pun bisa menangkapnya dari ratusan pemberitaan di masa kolonial. Di pengantarnya — tempat ia nebeng nama di karya hebat Gnevusheva — Wertheim menyalahi orang-orang Indonesia telah merusak nama Malygin menjadi Maligan. Padahal, hampir seluruh koran berbahasa Belanda di penghujung abad 19 latah menyebut nama yang sama, orang Rusia yang menggegerkan Hindia Belanda dalam perang Lombok yang menyebabkan ratusan korban di pihak militer Belanda dan menewaskan Mayor Jenderal Van Ham.
Lalu sejarawan Rusia itu menerbitkan tulisan yang masih bertema sama dalam Issue of History, No. 11, November 1969, C. 206-210.
Tetapi Gnevusheva tentu bukan penulis pertama yang — secara serius — mengisahkan Malygin. Dalam Buletin Sejarah, episode dari masa lalu Hindia Belanda No. 3 1900, M. M. Bakunin dengan panjang lebar mengupas sosok pria Moldova itu yang disebutnya bernama Parygin, dua tahun sebelum bukunya berjudul Tropicheskaya Gollandiy (1902) diterbitkan. Bakunin mengakhiri kisah ketika pria pembuat “badai petir” di Hindia Belanda itu mendapat amnesti di tahun 1899. Ia akhirnya dibebaskan, dan dikawal kembali ke Rusia menggunakan kapal uap.
Penulis Rusia yang juga membahas tokoh misterius dari Moldova adalah V Maksimov, dalam tulisan berjudul Parygan, Satu Halaman dari Masa Lalu Indonesia (1960). Di tahun yang sama S Markov menulis Debu di Pulau Lombok. Di tahun 1961 V. A. Chernykh menulis Voprosy Archivovedenie dalam buletin informasi ilmiah No. 1. Di jurnal ini ia menetapkan nama asli Parygin menjadi V. P. Malygin.
Masih banyak lagi buku dan artikel berbahasa Rusia yang menjadi rujukan saya dalam menulis tentang Malygin. Tapi, saya sengaja merinci sebagian tulisan itu terutama menyangkut masa publikasi, untuk menjawab pendapat sejumlah pihak bahwa De Levensgeschiedenis van W. P. Mamalyga sumber segala tulisan tentang riwayat Vasily Panteleimonovich Malygin. Itu pendapat gegabah dan menyesatkan. De Levensgeschiedenis van W. P. Mamalyga adalah terjemahan yang terbit di tahun 1965 – dan bukan rujukan saya!
Saya tuntaskan dulu sampai di sini pemaparan tentang sumber-sumber tulisan, sebelum melanjutkan ke episode Malygin yang masih mengendap-endap di Buleleng.
(Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)