deAmpenan – bagian 49

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Jemuhur kebingungan ketika Ahmad mengatakan ia tidak berada di Ampenan semalam. Padahal ia sendiri yang melayani pemuda itu makan dan tambah beberapa kali di warungnya. Setelah itu Ahmad mengabari dirinya akan menikah dengan Cornelia dalam beberapa hari ini.

“Kau mungkin sedang bejorak (bercanda) ini Ahmad. Saya belum terlalu tua, mata saya belum terlalu bermasalah,” katanya tak habis pikir.

“Tapi sejak sore kemarin saya berada pondok pesantren Bengkel. Saya menginap di sana. Siang tadi baru kembali ke Ampenan.”

“Lalu siapa pemuda yang datang semalam, apa kau punya saudara kembar?”

“Berapa lama ia di warung ini?”

“Cukup lama. Setelah makan ia mengatakan akan segera menikah dengan noni itu.”

“Hah?!

“Begitu dia sudah pergi, saya tutup warung. Saya ke rumah Sedah. Lalu kami sepakat ingin berpartisipasi, menyumbang sekedarnya.”

“Yang side (anda) sumbangkan itu tidak sekedarnya,” Ahmad memandang ke luar warung, “Inilah maksud kedatangan saya. Kita lupakan soal pemuda yang side katakan membawa kabar semalam. Saya ingin side membantu saya.”

Dalam hati Ahmad yakin, seseorang yang disangka Jemuhur semalam adalah dirinya, tak lain penjelmaan salah satu jin yang menjadi pengikutnya. Di luar sepengetahuannya makhluk-makhluk gaib itu ingin benar-benar menunjukkan perhatian terhadapnya. “Kalian harus kuperingatkan agar tidak terlalu jauh mencampuri kehidupanku,” Ahmad membatin.

“Bantuan bagaimana, Ahmad?”

“Side datang ke arena gasing besok sore. Katakan bahwa orang-orang yang mengantarkan bahan-bahan untuk begawe itu salah menyampaikan keterangan. Bilang bahwa itu sumbangan side untuk acara begawe, acara syukuran atas kesembuhan dan kembalinya noni setelah sempat menghilang.”

“Lha, kan saya dibilang ada mau dengan gadis itu, selung-selung (tiba-tiba) menyumbang keperluan syukuran. Dong malu saya, Ahmad. Saya juga tidak ikut-ikutan sir (naksir) noni, karena saya tahu dia beraye (kekasih) kamu.”

Ahmad geli mendengar Jemuhur. “Apa boleh buat. Daripada seperti sekarang, Ampenan biyur (gempar), saya justru lebih malu. Masalahnya, jangankan sudah melamar, beberayean (berpacaran) saja belum jelas. Begini saja, side sampaikan hendak rowah undang semua orang di arena pegangsingan, menyambut bulan puasa. Tempatnya di arena pegangsingan.”

“Baik, cukup bagus alasan itu. Tapi bagaimana dengan Sedah? Dia bahkan datang sendiri ke rumah noni tadi. Dia ikut menyumbang, ia serahkan kepada kakak gadis itu.”

“Apa yang diserahkannya?”

“Perhiasan.”

“Astaga!” Ahmad memukul keningnya. Lama ia mencari-cari jawaban. Ia buntu. “Begini saja. Urusan Sedah, nanti saya pikirkan. Yang penting side datang dan jelaskan besok.”

Ahmad pamit. Setelah menutup pintu warung, pandangan Jemuhur tertumbuk pada pundi kantung kain di atas meja. Ia membukanya. Ia begitu terperanjat melihat ratusan keping uang koin Belanda di dalam kantung itu. “Pemuda aneh. Saya ikhlas memberikan semua itu, Ahmad. Dan saya tak merasa rugi. Kamu dikirim Allah untuk campur tangan dalam hidup saya, mengubah hidup kami menjadi jauh lebih baik. Saya ingin membalas kebaikanmu. Tapi kamu seolah menolak apa pun pemberian saya. Kamu kembalikan dengan cara ini,” bisik Jemuhur.

Sore keesokan harinya, di arena main gasing, Jemuhur mengumumkan niatnya mengadakan rowah di tempat itu, menyambut kedatangan Bulan Ramadhan yang tinggal tiga puluhan hari lagi.

Tiga wajah berseri-seri.

“Encok ana sembuh seketika. Si noni masih belum-belum terikat ijab kabul. Dia memang bakalan jodoh ana,” kata Abah Karim.

“Nama Cornelia sampai tadi malam masih tersebut saat saya mengigau. Noni itu tak lama lagi pulangnya ke Pejeruk,” tukas Daeng Salam.

“Orang bujangan lebih punya kesempatan. Jelas, Cornelia tak ingin dimadu. Noni akan mengakhiri keperjakaan Hongli. Segera! Pilihlah ranjang pengantin yang kau suka, noniku,” timpal Babah Hongli.

*

Kabut tebal bergulung muncul tiba-tiba di depan Ahmad. Ia baru saja menyelesaikan shalat ashar di tepi sungai.

“Kakek,” ia menjura. Ia cukup terkejut melihat wajah pertapa itu nampak sangat lelah. Mata lelaki sangat uzur itu sayu dan lebih banyak terpejam.

“Temui aku malam nanti. Ajak gadis itu,” Ghalib menunjuk ke arah barat, di ujung utara jembatan Ampenan.

“Cornelia?”

“Bawa dia menemuiku. Penting. Sangat penting,” pertapa itu tak ingin berlama-lama. Sesaat kemudian ia lenyap dari pandangan. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

]]>

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait