deAmpenan – bagian 15

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
deAmpenan

Pagi ketika terbangun, otak Graaf Maarten baru normal seratus persen. Ia urut-urut kejadian itu. Setelah itu ia mengutuk habis-habisan.

“Bangsat! Anjing inlander! Saya akan bikin remuk kepalamu,” makinya dalam hati.

Ia kini sadar sesadar-sadarnya, betapa ia dipermalukan. Sangat. Darahnya mendidih. Di depan kaum terhormat, orang-orang senegaranya, ia tak ubahnya kerbau bodoh yang manut, menerima apa pun perlakuan terhadapnya. Ia yang dielu-elukan, serdadu Hindia Belanda gagah berani, paling bengis dan paling berani di medan tempur. Ia yang menjadi momok para gerilyawan dan pejuang pribumi, penumpas keji tak kenal ampun. Tetapi, sepuluh pasang mata telah menyaksikan, ia tak berkutik di depan seorang inlander tak bersenjata. Yang menyakitkan, pribumi itu dengan santai merebut wanita yang ia puja. Gadis yang ia kejar-kejar selama ini, gadis yang membuatnya banyak berkorban, dibawa begitu saja, di saat sudah berada di tangannya. Betapa ia sangat terhina.

Ia menggebrak meja di kamar tidurnya. Suaranya terdengar keras, mengejutkan Joan van Dirk yang sedang menulis sesuatu. Joan mengetuk pintu.

“Graaf. Graaf! Kau baik-baik saja?”

Suara menggeram terdengar dari dalam kamar. Lalu daun pintu terkuak. Graaf muncul. Matanya merah, liar.

“Kita harus temukan bedebah itu.”

Joan paham siapa yang dimaksud tamunya. “Kita cari dia hari ini. Harus ketemu. Saya pun tak terima. Saya baru melihat ada anjing pribumi sini yang dengan berani mempermainkanmu. Itu penghinaan, meremehkan orang-orang kulit putih.”

“Saya tidak akan habisi ia seketika. Biarkan ia mati perlahan-lahan. Setelah biji matanya saya korek, saya sayat-sayat tubuhnya. Mayatnya untuk makanan anjing.”

Joan berseru memanggil. Seorang lelaki pribumi tiga puluhan datang terbungkuk-bungkuk.

“Siapkan dua ekor kuda,” Joan memberi perintah.

Dua lelaki Belanda itu menuju meja makan. Mereka sarapan dengan terburu-buru. Sebentar kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda. Dua ekor kuda Inggris tinggi besar melesat meninggalkan halaman rumah.

Di pinggiran Kampung Tempit, seorang pemuda sedang duduk berjongkok dikelilingi anak-anak. Ia sedang menceritakan sesuatu. Anak-anak asyik mendengar.

Seorang pedagang cendol muncul dari mulut jalan kampung mendorong rombongnya. Pemuda itu memanggilnya.

Pedagang keliling itu bernama Sedah. Dulu ia bekerja sebagai kuli pelabuhan Ampenan. Setelah ia mendengar kisah Jemuhur yang kini hidup berkecukupan, punya warung makan dan beberapa dokar, Sedah putar haluan. Ia benar-benar terobsesi cerita mengesankan itu. Ia memulai berjualan es cendol.

Pemuda yang memanggil itu, tidak salah lagi. Dia pasti seorang yang mengubah hidup Jemuhur. Yang tanpa setahu Jemuhur memasukkan uang logam dalam jumlah banyak ke dalam kotak kayu. Dari cerita yang beredar, pemuda itu menyukai anak-anak, meluangkan waktu bermain bersama mereka. Pemuda itu kini di hadapannya. Tidak salah lagi, bisik Sedah. Wajahnya berseri-seri.

Pemuda itu memesan es cendol untuk seluruh anak di tempat itu. Sedah melayani dengan sangat bersemangat. “Sebentar lagi, sebentar lagi rombong ini ana saut (lemparkan),” ia membayangkan kehidupannya yang segera berubah.

Tangannya sibuk memasukkan campuran minuman ke dalam gelas. Biasanya ia tak sampai penuh mengisi gelas-gelas itu. Ia pedagang cukup pelit. Itu sebabnya jualannya jarang laku. Tapi kali ini ia benar-benar murah hati. Gelas-gelas itu diisinya penuh-penuh bahkan ada beberapa yang sampai meluap ke luar gelas. Pikirannya terus melambungkan hayalan. “Sebentar lagi, Jemuhur. Ente bakal dapat saingan baru, Heb. Ana akan beli dokar enam sekaligus. Ana akan bikin warung besar di pelabuhan. Dan kamu, Kalsum, istri yang cerewet. Nanti sore lunasi utang-utang itu. Suruh dia menganga, sosop (susup) kepeng (uang) ke mulutnya. Ana pendak (bosan) ditagih terus.”

“Pemuda bedebah, jangan bergerak!” tiba-tiba terdengar bentakan.

Anak-anak mundur ketakutan. Sedah mendorong rombongnya menjauh. Anak-anak mengikutinya.

Pemuda itu seolah tak mendengar, menoleh pun tidak. Ia tetap berdiri santai di tengah jalan, menikmati cendol di gelasnya.

Dua kuda hitam mengkilap itu dipacu ke arahnya. Tapi begitu mendekat, hewan-hewan perkasa itu meringkik keras, dengan dua kaki depan terangkat. Tubuh-tubuh penunggangnya terlempar. Joan van Dirk terpelanting masuk selokan. Sedangkan Graaf terbanting ke dekat pagar sebuah rumah, namun ia dengan cepat bangkit. Ia mencabut revolver di pinggang, mengarahkannya ke tubuh pemuda yang masih tak bergeser dari tempatnya berdiri. Tapi sebelum pistol itu menyalak, salah satu kaki belakang hewan tunggangannya menghantam dadanya. Senjata api di tangannya terlempar, di dekat kaki pemuda yang nyaris menjadi sasaran empuk peluru. Pemuda itu memungutnya, memasukkan senjata itu ke dalam tas dari kulit pandan yang tergantung di bahunya. Tendangan kuda yang sangat keras itu membuat tubuh Graaf tersurut beberapa langkah. Dadanya terasa remuk. Ia mengeluh pendek. Ia bersandar di batang pohon nangka di tepi jalan. Lelaki itu mencoba bangkit lagi. Namun hewan itu seperti tak mengenal penunggangnya lagi. Tiga tendangan kaki belakang hewan itu mendarat telak di kaki dan dagu serdadu itu. Graaf sempat merasakan tempurung lututnya hancur. Tapi ia tak ingat apa-apa lagi ketika tendangan susulan mengarah ke wajahnya. Kepalanya membentur pohon. Ia tak sadarkan diri.

Joan van Dirk menyadari ada sesuatu yang tak beres. Ia merasa aneh, kuda-kuda tunggangan itu selama ini tak pernah berulah. Apa gerangan yang membuat mereka tiba-tiba liar, setelah melihat pemuda inlander itu, ia tak habis pikir. Tetapi kemarahan meluap-luap membuatnya tak mau pusing memikirkan itu. Ia merasa sangat direndahkan pemuda yang seharusnya meregang nyawa di tangan temannya. Ia cabut belati yang terselip dipinggangnya. Ia lemparkan ke arah punggung pemuda itu yang sedang membelakanginya. Suara mendesing di udara. Setengah depa lagi benda tajam itu menancap, pemuda itu membalikkan badan. Tahu-tahu belati yang melesat itu sudah berada di tangannya. Ia menimang-nimang benda itu. Tanpa terlihat adanya gerakan yang membuat lemparan, belati itu kembali kepada tuannya.

Joan meraung setinggi langit. Belati itu menembus pangkal pahanya, kurang seinci lagi nyaris melukai buah zakarnya. Darah mengucur tak henti-henti. Beberapa langkah di depannya, Graaf masih terkulai tak sadarkan diri. Dari mulutnya keluar gumpalan darah.

Pemuda itu meninggalkan dua lelaki kulit putih bersama kuda-kudanya. Ia menghampiri anak-anak yang memandangnya penuh kekaguman.

“Berapa, semua?” tanyanya pada Sedah.

Penjual es cendol itu kembali teringat kisah Jemuhur. Yang ia tahu, lelaki itu tak menerima sepeser pun pembayaran. Kejadiannya harus persis sama. Kotak uang kosong, dan tak dibayar. Ia melihat pemuda itu mengeluarkan beberapa keping uang sen dari sakunya.

“Tidak, saya tidak akan terima uang itu. Jemuhur tak dibayar, begitu ceritanya,” bisiknya.

Ia mendorong rombongnya, bergegas meninggalkan sang pemuda dan anak-anak. Jualannya sudah habis. Ia pulang dengan hati riang.

Di bawah pohon di halaman pondoknya ia tinggalkan rombong cendolnya. Istrinya memeriksa kotak uang. Lalu terdengar teriakannya.

“Sedah, mbe kepeng-kepeng mauk’m bedagang (mana uang hasilmu jualan)?”

Sedah ke luar kembali. Ia seketika pucat pasi. Kotak uang itu kosong-melompong. Dengan gugup ia bercerita.

“Jari kamu sak tolak kepeng (jadi kamu yang menolak uang)?” istrinya melotot.

Perempuan itu masuk. Dari dalam dapur ia menumpahkan kekesalannya. Suara piring, baskom, panci, dan perkakas lainnya terdengar berisik, seperti dibanting.

“Seang aku nane, Sedah. Seang! Wah ndek ku tahan (cerai saya sekarang, Sedah. Cerai. Saya sudah tak tahan),” pekik istrinya seperti histeris. Suara benda-benda dilemparkan semakin gaduh. Sedah merebahkan tubuhnya di balai-balai. Kepalanya tak sanggup memikirkan apa pun. Ia pusing. Ia ingin dibuatkan kopi. Tetapi mana berani ia meminta saat istrinya mengamuk seperti itu. Ia memiringkan tubuh. Terasa ada sesuatu mengganjal, terselip di pinggangnya. Ia tarik benda itu. Sebuah benda hitam cukup berat. Pistol! (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

]]>

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait