Sensasi Kuliner Pantai Bersejarah (1000 Menu Kuliner Ampenan – Bagian 5)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
Menikmati aneka kuliner di pesisir Pantai Ampenan yang bersejarah


GERIMIS turun sejak siang hari. Namun pangkalan aneka kuliner di Pantai Ampenan tetap dikunjungi, walau tidak seramai di saat cuaca bersahabat. Meski tak nampak sunset lantaran diselimuti awan tebal, tak menyurutkan keinginan para pengunjung yang memang sengaja datang mencari dan menikmati makanan yang dijajakan di sekitar bekas dermaga.

Saya menemani seorang teman yang hari itu sedang melaksanakan puasa rutin Senin-Kamis. Setengah jam lagi waktu maghrib tiba. “Saya kepingin berbuka dalam suasana pantai,” katanya.

Kami memilih tempat di dekat anjungan. Beberapa puluh meter di sebelah barat nampak beberapa sisa tonggak besi dermaga yang masih terpancang. Angin menyergap, membawa aroma asin laut. Baru beberapa menit, saya hanyut dalam kenangan saat pertama kali berkunjung ke tempat ini, tiga puluh lima tahun yang lalu. Pantai dengan ombak yang cukup ganas, seperti tiada henti bertutur tentang masa-masa keemasan pelabuhan Ampenan sebagai salah satu bandar terbesar di Nusantara.

Dua porsi sate lontong lengkap dengan pelecing kangkung segera terhidang bersama es campur di dalam gelas plastik. Warna-warni isi minuman yang begitu menggoda. Saya ingin langsung meneguknya. Tapi saya segera tersadar ketika melihat teman yang duduk di depan saya yang masih menunggu waktu berbuka. Menit-menit yang mengingatkan saya Bulan Ramadhan bersama keluarga, duduk bersama mengelilingi hidangan berbuka.

Di sepanjang pesisir pantai berjajar meja-meja kecil yang disiapkan untuk para pengunjung yang datang memesan aneka hidangan sembari menikmati suasana pantai bersejarah.

Azan magrib terdengar dari musholla yang berada dekat halaman parkir. Kami mengangkat gelas es campur. Rasa manis beraroma segar segera tercecap lidah, mengantarkan kelezatan ke seluruh syaraf cita rasa. Saya membayangkan sensasi yang lebih dahsyat tentu dirasakan teman yang pertama kali menyentuh hidangan setelah seharian berpuasa.

Kangkung Lombok saya aduk-aduk agar bercampur merata dengan bumbu dan urap-urap di dalam piring. Kini sensasi lain menggantikan kelezatan es campur yang meriah dan bernuansa milenial, dengan sesuatu yang spesifik. Baik bumbu sate dan pelecing kangkung menggiring ke sebuah suasana yang benar-benar identik dengan Pulau Seribu Masjid ini. Pedas dan merseng (sangat gurih, bahasa Sasak), begitu berkarakter. Pelecing kangkung nikmat ala Ampenan yang telah teruji dan familiar di lidah tak hanya bagi warga lokal.

Dua hidangan itu berhasil membuat kami benar-benar lupa keadaan yang remang dan masih bergerimis. Sekejap piring dan gelas kami tak bersisa. Dua menu itu sekaligus menjadi santapan malam yang membuat saya semalaman tak mencari makanan atau camilan lainnya. (Buyung Sutan Muhlis/Bersambung)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest

Berita Terkait